MUTIARA DAN BUNGA
Namaku
Hamidah. Aku tinggal di sebuah desa kecil di Kabupatan Banjarnegara. Aku
terlahir dengan ketidakmampuanku berbicara. Mendiang nenekku, orang yang paling
menyayangi dan menerimaku, pernah bilang padaku kalau aku ini terlahir istimewa.
Dengan kata lain berbeda dari pada saudaraku, Halimah. Aku kadang iri pada
Halimah, yang begitu beruntung terlahir dengan kesempurnaan fisiknya. Dia
cantik dan menawan. Kami tumbuh dan besar di desa bersama. Kami selalu bermain
bersama. Tapi temanku tak sebanyak temannya. Aku lebih sering dikucilkan oleh bocah-bocah
sebayaku. Tapi ketika itu terjadi, Halimah selalu membelaku. Kadang malahan ia
menangis bersamaku.
Hingga umur kami sembilan tahun, Bapak dan Ibu
masih sering menimang dan membelainya. Mereka seperti sedang menggendong
seorang bayi malaikat. Betapa senangnya punya anak seperti Halimah, begitu
pikirku suatu hari. Aku dan Halimah adalah saudara kembar. Dia terlahir hanya
selisih sepuluh menit setelah aku duluan melihat dunia ini. Dia selalu memanggilku
dengan sebutan Mbak meskipun aku tidak pernah memanggilnya Dik atau Adik. Aku
begitu menyayanginya. Dia adalah satu-satunya harapan hidupku di tengah
kejamnya hukum sosial yang terjadi di lingkunganku. Orang-orang di sekelilingku
memandangku tidak peduli. Mereka meremehkanku yang terlahir tuna wicara. Bahkan
beberapa dari mereka meledek dan menghinaku terang-terangan. Tapi untungnya
Tuhan memberikanku keteguhan hati untuk tetap bersabar menghadapi cobaan yang
telah Ia gariskan.
Alhamdulillah,
pada akhirnya kerja keras dan usahaku selama tiga tahun terbayar. Pada tahun
1976 aku resmi lulus dan jadi sarjana dari salah satu universitas di Jakarta.
Kupikir ibu juga bangga dengan pencapaianku, sebagaimana yang bapak tunjukkan
saat aku memberi kabar bahwa aku lulus sidang yudisium dan sudah bisa wisuda
bulan depan. Rupanya ibu memang lain. Beliau pernah bilang sehari sebelum
wisudaku, “Kamu tho ya, Nduk. Harusnya dulu kamu pilih jurusan peternakan saja
di sana. Sekarang gelarmu ini buat apa kalau kamu ndak punya gawean? Sarjana
sosial iku kan paling gaweane dadi guru, dadi pesiko pesiko apa itu lah.. lah
kamu ini kan ndak bisa ngo…m..” ibu menghentikan kalimatnya. Beliau tahu telah
bicara di luar kewajaran. Aku hanya tertunduk. Kalimat terpotong beliau itu
mencincang semangatku. Sesekali butiran hujan di mataku jatuh. Aku
membiarkannya mengalir dan membentuk anak sungai di pipiku. Bukan maksud agar
ibu melihatku menangis, tapi karena aku tak kuasa mengangkat tangan untuk menghapus
air mataku. Ibu mengempit jaritnya dan pergi meninggalkanku. Setelah ibu lenyap
di belakang pintu gedhek kamarku, sekonyong-konyong aku jatuh lemas di kasur.
Aku berubah benci pada diriku sendiri. Aku hanyut dalam lamunan penyalahan atas
diriku. Aku menyesal tidak menuruti nasehat ibu waktu dulu. Aku terus menangis
sambil memukul-mukul bantal guling yang ada di sekelilingku. Bantal dan guling
itu tidak pernah berteriak atau menjerit sama halnya aku ini.
Halimah masuk ke kamar. Ia duduk
di kursi belajar yang sewaktu SMA kami gunakan bersama. Wajahnya menyinarkan
kegembiraan yang ada dalam hatinya. Ia tersenyum memandang awang-awang.
“Mbak,
aku senang sekali hari ini,” katanya lembut. Aku menaikkan wajahku dan
menatapnya penasaran, “Aku
ketemu mas-mas gagah tadi, waktu aku mencuci di kali,” sambungnya semangat. Aku
melihat sisa-sisa debaran jantungnya yang terpacu hanya dari menelisik mata
hitamnya itu.
Aku
mengisyaratkan tanganku, bertanya siapa gerangan pria itu. Dia menjawab,
“Namanya Chairil. Katanya teman Mbak Dah,”
Chairil?
Temanku? Rasanya aku pernah kenal. Tapi kupikir ia bukan teman dekatku. Dia
tidak lebih dari teman satu organisasi di kampus. Apa aku begitu terkenal
sampai-sampai Chairil yang notabene putra pak lurah desa sebelah itu tahu ihwal
tentangku?
“Aku
lagi gosok-gosok baju pas Mas Chairil panggil namanya Mbak Dah. Otomatis aku
ndak nyelingak. Wong yang dipanggil Mbak Dah. Tapi Mas Chairil itu
panggil-panggil terus. Aku penasaran. Dan benar aja. Si mas-mas itu panggil aku
rupanya. Kami sempat ngobrol sebentar. Yaa sambil disambi nyuci lah. Waktu kami
ngobrol-ngobrol dia bilang aku dikira Mbah Dah. Yo pantes. Kan wajah kita sama.
Iya tho, Mbak?”
Aku
mengangguk.
“Waktu
aku ajak dia mampir ke rumah. Eh, dia malah malu-malu kucing. Katanya
kapan-kapan aja. Mbak Dah benar ndak kenal Mas Chairil?” tanyanya penasaran.
Aku manggut pelan.
Keesokan
paginya seseorang datang dan mengetok pintu. Halimah sedang di kamar mandi. Ibu
sudah pergi ke sawah sejak ba’da subuh. Bapak sedang minum kopi sambil baca
koran di ruang kerjanya. Akulah yang bertugas membuka pintu. Betapa kagetnya
aku saat menarik pintunya ke dalam, ternyata Aziz ada di depan pintu. Dialah
tamunya.
“Azz..azziizz…”
kataku pelan mirip desisan ular.
“Bapak
ada, Dah?” tanyanya memecah keherananku.
“Ada,
monggo..monggo masuk. Duduk dulu. Tak panggilkan bapak dulu yaa…” Aku berjalan
menghampiri bapak. Aziz mengangguk sopan. Hatiku bergetar. Jantungku berdebar
tak menentu. Darah terasa tidak mengalir di jantungku. Tidak ada lagi yang
memompa. Setelah sekian lama, hampir 4 tahun tidak bertemu dengannya, perasaan
itu rupanya masih ada. Jika aku masih punya perasaan itu, bagaimana dengan dia?
Apa masih sama seperti dulu, sebelum aku memutuskan hubungan kami dan berpisah
selama kurang lebih empat tahun? Berpisahnya kami bukan karena dia berlaku
buruk padaku, atau karena aku bosan dengannya. Aku memilih untuk konsentrasi
menempuh pendidikanku di universitas. Aku lebih takut mengecewakan kedua orang
tuaku daripada kehilangan Aziz yang sejatinya cinta pertamaku itu. Kami memang
memiliki hubungan akrab yang cukup lama di SMA. Tapi aku tidak pernah bercerita
apapun tentangnya pada keluargaku. Aku telah tumbuh sebagai individu yang sulit
terbuka pada orang lain. Sampai detik itu pun aku belum bisa menggantikan pria
itu di hatiku. Aku masih menyukainya. Bahkan ketika ia datang dengan tampilan
yang begitu berbeda dengan yang dulu pernah kulihat dan kusukai, aku masih bisa
mengenalinya dan merasakan keteduhan di balik sosok sopannya. Aku terlalu
banyak memikirkan masa laluku dengannya hingga tanpa sadar aku sudah sampai di
depan bapak. Bapak berkata berkali-kali hanya untuk menyadarkanku dari lamunan.
“Nduk ada apa, tho?! Meneng wae!”
bentak bapak kesal. Aku gelagapan. Segera kuberitahu bapak soal kedatangan
Aziz. Bapak manggut. “Mbokya ngomong, Nduk..Nduk..” kata bapak lembut.
“Aduh bapak..kan tahu sendiri
kalau aku ini ndak bisa ngomong,” jawabku dalam hati.
Jika datang tamu ke rumah,
biasanya aku atau Halimah wajib membuatkan minum untuk si tamu. Tapi kali ini
giliranku. Beberapa kali aku menyendok sedikit air dari kopi yang kubuat untuk bapak
dan Aziz khususnya. Aku memastikan rasanya pas. Tidak kemanisan dan tidak
terlalu pahit. Kupikir cangkir yang keempat inilah yang paling pas untuk Aziz.
Aku bergegas menuju ruang tamu dan meletakkan dua cangkir kopi itu di meja.
Bapak langsung meraih kopinya. Beliau menyeruputnya pelan sambil menawari Aziz
meminum tehnya. Aziz menerimanya dengan sopan. Selalu. Bapak mulai bertanya
pada Aziz perihal kedatangannya saat kakiku berlalu menjauhi dua orang yang
sangat kuhormati itu. Saat Halimah mendapatiku membawa nampan dari ruang tamu,
ia bertanya, “Siapa, Mbak?” Aku menjawab dengan isyarat “Tamunya bapak”
Aziz telah pergi. Tinggal bapak
yang kulihat masih berada di ruang tamu. Tatapannya kosong dan terkesan aneh.
Aku tidak berani mendekati beliau saat dalam kondisi seperti itu. Terakhir kali
aku lupa menghiraukan larangan-tidak-tertulis itu, bapak marah besar padaku dan
hampir saja mendorong tubuhku jika Halimah tidak datang tiba-tiba dan mencegah
bapak. Semenjak itu aku tahu bahwa tatapan kosong itu adalah gambaran kepelikan
masalah yang tengah dihadapi bapak. Aku hanya seorang bocah. Belum paham betul
apa yang dirasakan orang tuaku setiap harinya. Tapi aku coba memahami mereka.
Sekitar pukul tujuh, usai makan
malam, bapak melarang kami semua—ibu, aku, dan Halimah—beranjak dari tempat
duduk. Bahkan bapak tidak memperbolehkan Halimah terlebih dulu mengambil
piring-piring bekas makan kami. Sepertinya ini sangat penting, pikirku.
“Ada yang datang ke bapak hari
ini. Dia minta ijin mau melamar Halimah besok,” kata bapak tenang dan tegang.
Hampir tidak ada bedanya antara tenang dan tegang. Halimah terperanjat, matanya
seakan mau copot terbelalak. Ibu kaget tapi sedetik kemudian kembali tenang
menunggu lanjutan kalimat bapak. Aku juga kaget, tapi kaget bercampur gembira
karena sebentar lagi Halimah akan punya seorang suami. Dan aku akan cepat punya
ponakan. Ya Tuhan, betapa gembiranya aku. Halimah langsung memberondong
pertanyaan pada bapak. Tentang siapa pria yang bersedia melamarnya, dimana
rumah pria itu, atau dari keluarga seperti apa dia. Tapi tak satu pun yang
bapak jawab. Beliau hanya bilang, “Besok kan kamu tahu sendiri, Nduk,” kata
bapak sambil berlalu meninggalkan kami yang masih terbengong-bengong dengan
pernyataan beliau.
Sejak pagi kami semua
mempersiapkan pakaian yang hendak dikenakan saat lamaran Halimah nantinya. Aku
begitu antusias memilihkan kebaya terbaikku untuk Halimah. Dia tampak senang
dan penasaran. Berkali-kali dia menanyakan seperti apa si pria pelamarnya nanti
apa dia seorang yang gagah atau buruk rupa. Saat itulah aku selalu
menyemangatinya dan membiarkannya berpikir positif bahwa pria itu rupawan dan
santun macam Aziz. Oh!
Pukul tiga dua puluh. Ibu
menyuruhku membuka pintu depan karena pelamar sudah datang bersama rombongan
kecilnya. Aku buru-buru membuka pintu sambil tersenyum menyambut mereka, meski
perasaanku jatuh ke dalam jurang tak berdasar ketika aku mendapati Aziz datang
bersama keluarganya untuk melamar Halimah. Hampir aku tidak sadarkan diri untuk
membenamkan kenyataan ini dalam sebuah mimpi. Malangnya aku, karena takdirku
bukanlah mimpi. Aziz tampak kurang bersemangat saat mengetahui aku adalah orang
pertama yang membukakan pintu untuk menyambut dan menyilakannya melamar
saudariku sendiri. Orang yang selama ini selalu dan selalu ada di dalam hatiku
rupanya tidak tertakdir untukku. Ia justru hendak meminang saudariku. Tuhan
mungkin telah membalikkan hatinya.
Aku menyalami rombongan keluarga
Aziz satu persatu dengan tenggorokan
yang hampir pecah menahan ledakkan tangis. Aku tak menghiraukan Aziz yang sejak
tadi menangkap wajahku yang nampak memalukan menyalami saudara-saudaranya. Aku
tidak peduli tentang siapa Aziz! Yang lebih kupedulikan adalah bagaimana
caranya agar air mata ini tidak jatuh di depan matanya, di depan ayah, atau ibu
yang mulai curiga dengan sikapku.
Acara dimulai, dan Halimah
dipanggil keluar oleh bapak. Ia sangat anggun mengenakan baju kebaya terbaik
milikku yang justru dipamerkannya secara istimewa untuk orang yang tepat ada di
dasar hatiku. Ia tertunduk sambil berjalan memegangi jaritnya yang agak
kepanjangan. Halimah duduk dengan masih tertunduk. Kali ini didampingi
senyumnya.
“Ini loh. Yang mau melamar kamu,
Nduk. Nak Aziz putranya Pak Kaji Daiman,” kata bapak menyayat hatiku. Makin
teriris hati yang nyatanya sudah berkeping-keping ini. Halimah mencuri pandang
pada Aziz.
“Lho, Mas Chairil?” pekik Halimah
girang. Yang disapa hanya mengangguk dan tersenyum.
Acara lamaran pun usai. Lain
halnya dengan gemuruh di hatiku. Aku harus marah pada siapa? Kenyataan ini
sungguh mencabik-cabik seluruh bagian jiwaku. Aku telah hilang bentuk untuk
mengetahui jalan pulang menuju kewarasan yang telah kubangun selama 23 tahun
ini. Beberapa kali dalam sehari setelah lamaran Halimah, aku pergi ke sawah
untuk sekedar melempar batu ataupun membenturkan kepalaku ke pohon di lereng
bukit. Aku merasa hanya angin dan kesendirian yang menjadi teman hidupku saat
ini. Bahkan Tuhan pun menjauh dari doaku. Aku sempat berinisiatif untuk bunuh
diri, tapi ketika hendak terjun ke tebing, seorang bapak-bapak lewat dan
menegurku untuk jangan bermain terlalu dekat dengan tebing. “Mbok jatuh, Mbak,”
katanya. Percobaan yang kedua adalah ketika aku hendak membawa pergi pecahan
beling di belakang rumah ke sawah tempat aku mangkal untuk menyayat nadiku.
Sayang, keburu ketahuan Ibu. “Buat apa belingnya dikumpulkan, Nduk? Sini biar
ibu buang. Bocah gede kok ya dolane koyo iki,” kata ibu sambil merampas
sekresek beling yang baru kukumpulkan. Akhirnya aku mengurungkan niat untuk
bunuh diri.
Di suatu siang yang terik, saat aku
hendak kembali ke rumah setelah ritual menyendiriku usai, aku memutuskan untuk
berjalan-jalan melewati jalan raya aspal yang baru beberapa bulan dibangun.
Jalan itu cukup ramai diisi para pengendara mobil yang menggunakan jalur
alternatif untuk mencapai Purbalingga. Aku menyipitkan mata pada plat nomor
kendaraan yang lalu lalang. Aku yakin saat itu aku berada di tepi luar jalan,
tapi tiba-tiba tubuhku terhantam sesuatu, dan aku tidak tahu apa-apa lagi
setelahnya.
Yang aku tahu waktu itu aku
sedang tidur, dan disaat otakku berpikir itulah dengan mendadak aku seperti
sedang dicekik dan seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku terjaga dan mataku
terbuka perlahan. Cahaya yang memantul di retinaku begitu menyilaukan. Sejenak
aku berpikir dimana aku. Beberapa menit masih berpikir.
“Kamu di rumah sakit, Dah…” desah
suara pria pelan. Bisa jadi aku mengenalnya. Suara itu membuatku menoleh ke
arahnya.
“Aziz…” kataku lemah. Mataku
tidak sanggup menatap matanya. Aku telah kalah, Ziz…
Aziz duduk di sampingku. Dia
menggenggam tanganku sambil berkata, “Akhirnya kamu sadar juga Dah. Aku senang
sekali. Aku tunggu kamu sadar sudah enam tahun ini. Dan aku kebetulan jadi
orang pertama yang liat kamu sadar. Ini, aku bawakan bunga segar dari toko
depan. Mungkin kamu suka wanginya,”
Mungkin kalau pun aku tercipta
dengan kesempurnaanku dalam mengucapkan kata, bisa jadi aku tidak punya sepatah
kata pun untuk membalas kalimat Aziz. Aku hanya diam dan pura-pura tidak
menangisi keadaanku. Tak beberapa lama Aziz mohon diri dan pergi meninggalkanku
setelah seorang suster mengecek keadaanku dan berusaha meraih telepon di
samping kasurku. Aku buru-buru melarangnya menghubungi keluargaku. Aku harus
menata gejolak dalam jiwaku sebelum aku menemui mereka.
Sekitar pukul tiga sore seorang
wanita berkerudung membawa anak kecil yang kuduga putranya masuk ke ruang
inapku. Halimah! Itu Halimah! Ia setengah berlari menghampiriku. “Mbak, Mbak
Dah udah sadar tho? Kok pihak rumah sakit ndak ada yang ngabari sih?!” tanyanya
kesal. “Ayo le! Salim sama budemu!” perintah Halimah pada anak kecil itu. Anak
itu menyalamiku dan kusambut dengan senyum terbaikku sejak terakhir kali aku
tersenyum di hari lamaran Halimah. Anak itu mirip Halimah.
“Namanya Adit, Mbak. Panjangnya
sih Adit Janoko. Mas Aziz memang ada-ada saja kalau kasih nama. Nama wayang itu
kepenginannya, Mbak.”
Di saat itulah aku dikirim untuk
kembali ke masa lalu dan mengingat sesuatu tentang nama ‘Janoko’.
“Cita-citamu apa, Dah?” kata Aziz
sambil berjalan di sampingku.
Aku meraih buku catatanku dan
menulis sesaat. Aku memperlihatkannya pada Aziz. Isinya, aku harap suatu hari aku menikah, punya anak, dan anak itu kuberi nama Janoko. Aku menarik buku catatanku kembali
dengan malu. Aku berlari dan memegang erat tali tasku. Aziz ketinggalan jauh di
belakangku.
“Kalo gitu aku bakal kasih nama
yang sama buat anakku kelak!” serunya dari kejauhan. Kenangan itu membaur
dengan asap aroma terapi yang dipasang Halimah di dekat kepalaku. Aku kembali
mendapati kenyataan baru untuk takdirku. Pecahan teka-teki yang semula belum
kutemui jawabannya, kini sudahlah jelas. Halimah telah jadi isteri Aziz. Dan
Adit adalah putra mereka berdua. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Mbak, Mbak Dah? Mbak Dah kenapa
nangis, tho Mbak?” tanya Halimah kaget sekaligus cemas. Aku mengusirnya paksa!
Aku seperti orang kesetanan yang hendak mencabik-cabik semua orang yang ada di
sekitarku. Dari dulu aku tidak pernah berpikir kalau aku membenci hidupku, tapi
kini aku benar-benar membenci sepenuh hatiku. Sepenuh darah yang ada di seluruh
tubuhku. Aku telah mati untuk menciptakan cinta, harapan, dan kasih sayang. Aku
telah mati untuk itu semua!
Sejam setelah Halimah dan anaknya
meninggalkanku, aku mencoba bergerak dan kabur. Usahaku sia-sia ketika bapak
dan ibu datang mencegahku. Mereka mencengkeram kedua lenganku dan kudengar
hardikkan keras dari bapak. Aku terus meronta. Aku benci hidup ini! Aku ingin
pergi dari hidup ini! Atau mati terpanggang di neraka! Tidak adil untukku,
Tuhan! Haruskah aku masih percaya pada-Mu bahwasanya semua akan indah pada
waktunya?! Oh, angin…bantu aku jadi sepertimu, yang bisa membaur bersama udara
dan asap. Biarkan aku pergi dari keputusasaan dan kelelahan ini! Dan lagi-lagi
aku mendapati seluruh pemandangan jadi gelap. Aku terkungkung lagi dalam
penderitaan, pikirku.
Ketika mata ini kembali melihat,
aku sudah berada di tempat yang lain. Bukan di rumah sakit ataupun di rumah.
Aku perlahan bangkit dari posisiku. Aku duduk selonjor di sebuah kasur tingkat
yang di sekelilingnya juga banyak yang serupa. Dokter dan keluargaku memang
belum sempat memberikan terapi berjalan setelah bangunku dari koma, karena
itulah sampai saat aku berada di ruangan yang tak kukenal ini, aku masih belum
dapat berjalan. Tapi aku memang orang yang keras kepala. Sekuat tenaga aku
merangkak dan menyeret tubuhku agar aku dapat berpaling dari ruangan
menyebalkan ini. Seorang wanita paruh baya yang memeluk boneka susan meringis
mendapatiku. Dia menunjuk-nunjuk sambil tertawa cekikikan. Terkutuk! Aku telah
dikirim ke rumah sakit jiwa! Aku tidak gila, Bapak! Aku juga tidak hendak
membunuhmu, Halimah! Tapi apa kalian tahu perbuatan apa yang telah kalian
lakukan padaku? Kalianlah orang yang lalim itu! Adakah aku pernah berlaku di
luar batasan komitmen keluarga kita? Adakah aku pernah menuntut kalian
memberikan Aziz untukku? Sungguh, pernahkah kalian berpikir bahwa aku sudah
terlalu sabar menerima ujian Tuhan? Kapan ujian ini rampung? Kapan aku lulus? Kapan
aku tertawa dan konvoi atas kemenanganku melewati masa-masa terberat dalam
hidup? Aku menangis tersedu-sedu dan menjerit kesakitan. Hatiku yang telah
sakit!
Ironis memang! Gelarku sebagai
sarjana sosial terkikis hilang bersama penderitaanku. Sarjana sosial yang
notabene lebih paham pada masalah sosial, nyatanya ada juga yang masuk panti
sosial. Aku inilah!
Aku berteriak sekuat tenaga. Tiga
orang suster datang dan memegangku. Mereka hampir saja menyuntikan obat
penenang padaku jika saja seseorang tidak datang dan menyuruh mereka pergi.
Aziz. Lagi-lagi dia. Bak seorang pahlawan dia datang menyelamatkanku. Setiap
aku melihatnya tersulutlah bara api penyesalan. Kekecewaan pun ada di dalamnya.
Ada
apa kamu kesini?
Aziz diam menatap lekat mataku.
Ketika kulihat, matanya mulai berair. Perlahan meluaplah apa yang selama ini
terbendung dalam hatinya. Dia memelukku erat. Orang pertama yang memelukku
seperti itu. Aku luluh dalam rengkuhannya. Dia mencium rambutku, menyisirnya
perlahan, dan kembali mencium rambutku.
“Aku sudah ndak bisa menutupi
semua yang seharusnya kamu tahu, Dah. Aku ndak pernah cinta sama Halimah. Yang
ada di hatiku cuma kamu. Ya, kamu seorang. Aku capek harus pura-pura ndak tahu
dan ndak peduli sama keadaanmu yang semakin hari semakin buruk. Bahkan
keluargamu menganggap kamu gila. Aku ndak pernah terima atas apa yang sudah
mereka lakukan sama kamu, Dah! Kalau kamu pengin tau kenapa aku waktu itu
melamar Halimah dan bukan kamu, kamu…kamu… kamu pasti terkejut. Ingat waktu aku
datang ke rumahmu sehari sebelum lamaran?” tanya Aziz sambil mengguncang
tubuhku. Aku mengangguk perlahan. Tak hentinya aku menatap sepasang mata bulat
penuh cahaya itu.
“Waktu itu aku ijin melamar kamu…
Bukan Halimah!” katanya sambil menggeleng. Aku terperanjat. Kuusir tangannya
dari bahuku. Aku memaksanya pergi. Dia hanya berbohong, pikirku. “Tunggu, Dah!
Dengarkan aku dulu, Dah!” seru Aziz mengagetkan.
“Bapakmu menyuruhku untuk
menikahi Halimah saja. Beliau bercerita buruk tentangmu. Bahkan ketika aku
bilang pada beliau bahwa ini persoalan cinta, bapakmu malah menganggapku guyon.
Kata beliau hubungan pernikahan ndak harus didasari tresno. Beliau juga bilang,
jika aku mencintai kamu, otomatis aku akan juga mencintai Halimah. Beliau pikir
paras yang sama bisa menumbuhkan cinta yang sama. Tapi ndak buatku, Dah.
Awalnya memang aku hendak menunda saja rencana lamarannya, mungkin bapakmu akan
berubah pikiran sebulan atau setahun ke depan. Tapi beliau malah mengancam akan
menyebar fitnah dan menodai nama keluargaku. Aku dipaksa menikahi Halimah.
Sungguh, Dah. Semenjak perpisahan kita empat tahun lalu, hanya kamu yang ada di
hatiku. Halimah memang punya paras yang lebih cantik daripada kamu, Dah. Tapi
hatiku ndak akan pernah bisa dibohongi. Cinta itu datangnya dari hati. Orang
yang lebih dulu menyentuh hatiku yo cuma kamu, Dah… Aku ndak tahu harus ngomong
apa lagi. Aku benar-benar menyesal ndak bisa membahagiakanmu, Dah. Aku ndak
pantas kamu maafkan.”
Aku menghindar dari pelukannya.
Kusingkirkan tangannya yang masih ada di atas pundakku. Perlahan. Aku hendak
mengatakan sesuatu, tapi apa daya. Aku celingukan mencari kertas dan bolpen
yang mungkin terserak di lantai. Tapi tidak ada.
“Kamu cari ini? Aku bawa buat
kamu, Dah,” ucap Aziz lirih sambil mengeluarkan sebuah buku catatan berwarna
biru tua dan sebatang bolpen yang sering dicantelkan di saku bajunya. Aku
menatapnya sejenak lalu mengambilnya. Kutulis,
Aku
tidak akan pernah memaafkanmu, Ziz karena kamu tidak mengatakan hal yang
sejujurnya padaku selama ini. Tapi aku berterimakasih. Meskipun kamu terlambat
mengatakannya dan aku terlanjur banyak menderita, tapi aku sudah cukup bahagia
bahwa seseorang di dunia ini masih mencintaiku meskipun kini kita takkan pernah
bisa lagi seperti dulu. Kejujuranmu cukup untukku. Dan aku selalu berharap yang
terbaik untukmu, untuk keluarga kecilmu kini. Semoga kalian bahagia. Ingat,
jangan kecewakan saudariku. Karena dengan mengecewakannya, kamu juga telah
lebih dalam mengecewakanku. Simpan hatimu baik-baik untuk Halimah ya. Kalian
adalah orang yang sangat kucintai, jadi sampaikan padanya juga bahwa aku tidak
pernah sedetik pun membenci kalian. Dan, Ziz, sekarang kita bukan apa-apa lagi.
Hubungan dan status saudara yang ada pada masing-masing kita ini sudah cukup memisahkan
dan memutuskan perasaan kita. Aku minta padamu, hubungan kita di masa lalu
cukuplah kita yang tahu. Jangan jadikan masa lalu kita sebagai perusak
kebahagiaan orang lain. Pengungkapanmu ini sangat berarti untukku, Ziz. Aku
mungkin tidak bisa langsung menghapus perasaanku padamu, tapi aku akan
berusaha. Jaga Halimah, jaga hatinya. Bisa jadi cintanya padamu lebih besar
dari cintaku padamu. Berbahagialah karena hari ini Tuhan memberiku hidayah dan
membalikkan hatiku yang sempat tertutup untuk berdoa padanya. Terimakasih, Ziz…
Di akhir baris tulisanku, setitik
air mata jatuh ke atas kertas. Aziz melihatnya. Dia buru-buru meraih pipiku dan
mencoba menghapus sisa air mata yang mulai mengering. Aku menepis tangannya dan
berusaha memalingkan wajahku. Aziz terpekur. Aku menyuruhnya pulang. Dan
hilanglah semua gundah yang selama ini memasung jiwaku.
Dua pekan aku berada di rumah
sakit jiwa. Dari berbagai tes yang kujalani selama itu, aku lolos tes dan
dinyatakan boleh keluar. Sampai di rumah, ibu menyambutku gembira. Beliau
rupanya telah menyiapkan makanan kesukaanku, opor ayam. Terakhir kali aku
memakannya, mungkin sekitar tujuh tahun lalu. Tapi aku masih ingat rasanya. Ya,
seperti saat inilah.
“Aku senang Mbak Dah udah sehat
dan balik seperti dulu lagi. Makan yang banyak ya, Mbak biar cepet gendut.
Kasian tulangnya, kalau jatuh langsung remuk,” kata Halimah di tengah suapan
lontongnya. Aziz nampak lebih tertata hatinya. Adit, putra Aziz dan Halimah
begitu serius menghabiskan tiga suapan terakhir di piringnya. Sementara ibu
tidak hentinya menatapku sambil tersenyum gembira. Ibu ternyata lebih
menyayangiku, Tuhan. Terimakasih. Semoga bapak melihat kami semua dan bangga
atas keberhasilanku melewati ujian ini. Semoga bapak tenang di sana. Aku sudah
ikhlas memaafkan bapak.
* Pengunjung yang baik selalu menyertakan komentarnya yang bersifat membangun
* Jika ingin menyalin sertakan link yaa
* Terimakasih telah berkunjung
Cerita lain:
Besan
Lentera
Cinta
Di Bawah Hujan
* Pengunjung yang baik selalu menyertakan komentarnya yang bersifat membangun
* Jika ingin menyalin sertakan link yaa
* Terimakasih telah berkunjung
Cerita lain:
Besan
Lentera
Cinta
Di Bawah Hujan
Comments
Post a Comment
Komentarlah dengan sopan. Tidak mengandung SARA. Komentar yang berisi link aktif akan dihapus dan dianggap sebagai spam