Skip to main content

Cerita Pendek: Di Bawah Hujan



Siang di bawah sinar mentari yang meremang dihalangi pepohonan yang rimbun, seakan berarti bagiku: saat semua penatku di kantor bisa kusandarkan pada bahu seorang pria jangkung di sampingku. Ia membelai rambutku sambil berkata,
“Kurasa musim hujan akan tiba di pertengahan bulan ini.”
“Hmm..padahal aku berharap akan selalu seperti ini selamanya.”
Ia mencubit hidungku sampai memerah. Aku bersungut-sungut padanya, menahan sakit di ujung hidungku. “Itu kan harapanmu, Orin… Apapun di dunia ini akan selalu berubah,” katanya lembut.
“Apa termasuk cinta kita?” tanyaku lugu.
“Dasar bocah! Ya tentu saja!” jawabnya ringan sambil tersenyum masam.
Aku diam tanpa bahasa. Tiba-tiba benci memandangnya. Aku mencoba bangkit dari bangku yang kami duduki. Mulai berdiri tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
“Mau ke mana, Orin?”
Aku tak menjawab, pura-pura asyik melihat-lihat pemandangan sekitar kami: teduh dan menenangkan.
“Aku tahu kau marah, lagi pula itu kan hanya bercanda…” Ia berdiri di belakangku. Dalam hati aku menghitung. 1..2..3.. “Aku minta maaf…” Sudah kuduga, pasti ia akan mengatakan itu. Aku berbalik, memeluknya cepat.
“Isan, berjanjilah padaku kau takkan pergi tanpa pamit padaku lagi. Janji ya?” Ia hanya menyembulkan senyum di ujung bibirnya. Tanpa kata.
“Pukul 3 seperempat. Kita harus pulang, Orin. Mama pasti mencari putri manjanya ini.” Aku mengangguk seraya menggandeng lengannya.
***
Dua hari setelah kencan kami di Taman Rimbun, Isan mengajakku kembali ke tempat itu.
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanyaku cepat saat melihatnya keluar dari mobil dengan wajah pucat. Ia menggandengku mendekati bangku taman di tepi jalan yang kemi singgahi. “Katakan!” bentakku sedikit kasar padanya. Mimik wajahnya membuatku cemas dan takut.
“Kami akan pindah ke Singapura sabtu besok.”
Nanar aku memandang Isan. Bagaikan tersambar petir.
“Kenapa begitu mendadak?”
“Entahlah…” Isan menghela udara di dekatnya. “Mungkin karena papaku takut aku akan terlalu mencintaimu,” sambung Isan diikuti tawa kecilnya. Ia masih sempat meledekku!
“Sama sekali tidak lucu!” tukasku kesal.
Isan mengacak rambutku, lalu mengecupnya. Terakhir merangkulku hangat.
“Kau bisa menghubungiku, kan? Sesekali kau harus datang kemari untuk bertemu denganku.”
“Yaa, kurasa…” jawabnya singkat. Aku memukul bahunya keras. Ia mengaduh diikuti tertawa girang melihatku benar-benar naik darah.
“Aku lebih menyukaimu saat kau marah. Kau terlihat jauh lebih menggemaskan!” Isan mencubit kedua pipiku.
Nada ponsel Isan terdengar mendering di saku bajunya. Ia merogoh dan mengambil benda berbentuk persegi panjang itu. “Halo? …iya..iya… sebentar lagi, Mam… iya..Isan pasti pulang!”
“Mama menyuruhmu cepat pulang ya?”
“Hmm..mm,” angguk Isan pelan. Ada raut kekecewaan di wajahnya.
Tikk. Ujung hidungku terasa basah. Kusentuh. Memang basah. Kupandang langit. Rintik-rintik air mulai jatuh.
“Hujan,” desahku sambil menengadahkan telapak tanganku, berharap titik-titik lembut itu bisa kugenggam. Isan menggandengku menuju mobilnya.
“Ayo, masuk.. Kita perlu berteduh!”
Aku menggeleng lalu tersenyum padanya. “Perkiraanmu salah, Bodoh! Dia datang lebih awal. Biarkan aku merasakan bau basah ini… Aku menyukai bau hujan, Isan. Aku tak mau masuk!”
“Orin! Kau bisa sakit nanti! Jangan lakukan hal bodoh, masuk ke mobil! Cepat!” seru Isan. Aku bersikeras menghujani tubuhku. Basah. Dingin. Hujan makin deras, aku menggigil. Terpaksa Isan ikut hujan-hujanan. Aku tersenyum gembira. Menatapnya dalam sampai kutahu ia bicara tanpa suara. Warna pemandangan sekeliling jadi pudar dan kudengar suara benda jatuh menyeruak.
Yang kutahu aku ada di ruangan dengan dinding putih sedikit kehijauan. Kamarku. Boneka beruang kecil ada di sampingku. Seseorang masuk ke kamarku. Mama rupanya.
“Kau sudah bangun,, Orin?” tanya Mama gembira. “Apa sudah merasa lebih baik?” sambungnya.
“Entahlah, Mam. Kepalaku benar-benar sakit…” Aku memegang kepalaku yang terasa berdenyut-denyut. “Di mana Isan? Apa dia yang membewaku kemari tadi?”
“Kamis sore maksudmu? Tentu saja iya, Sayang…”
“Apa maksud Mama hari ini bukan hari kamis?”
Mama menggeleng pelan. Ia mengusap rambutku. “Hari ini adalah hari minggu, Orin. Kau demam dan sudah empat hari ini kau tidak sadarkan diri. Itu sebabnya mama senang melihatmu sudah baikan.”
Aku terpekur.
“Isan menitipkan surat ini pada mama kemarin pagi. Ini…” kata Mama sambil menyodorkan amplop putih padaku. Aku menyambarnya cepat. Aku segera mengambil posisi duduk dengan dibantu Mama.
Untuk Orin Arida, Sayangku. Aku tersenyum pilu.
Saat kau membaca suratku, aku sangat bersyukur. Pastinya kau sudah sadar, kan? Dan aku sudah tidak di Indonesia lagi tentunya. Jangan bersedih ya, Sayang… Jangan mencariku, aku yang akan menemukanmu. Aku pasti kembali, Orin ^_^
Mataku terasa banjir. Pipiku basah, mengalir sungai-sungai kecil hingga dagu. Mama mengusap air mataku.
“Bukankah Isan menyuruhmu agar jangan bersedih? Lalu kenapa kau masih menangis, Sayang?” Mama memelukku. Aku jatuh dalam dekapannya. Baju Mama mulai basah karenaku.
Kucoba menghubungi Isan. Nada dialihkan berkali-kali terdengar. Nomor ponsel Ikha, adik Isan, juga kuhubungi. Ahh..sial! Sama saja, dialihkan. Mama menenangkanku.
***
“Apa benar, Dok putra saya tidak dapat disembuhkan?”
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Bu. Tapi mendengar Isan tidak mau menjalani kemoterapi, kami jadi sedikit ragu dengan upaya penyembuhannya. Terlebih kanker yang diderita Isan sudah stadium empat. Cobalah untuk membujuknya sekali lagi. Kesembuhan pasien juga bergantung pada harapan hidupnya sendiri.”
Teresa hanya bisa menangisi kondisi putranya itu. Kenapa ia begitu keras kepala, batin Teresa.
***
Berbulan-bulan aku menunggu kontak dari Isan. Tapi tak pernah ada. Aku selalu bertanya pada tukang pos yang biasa lewat di depan rumah, apa ada surat untukku, dan ia selalu menjawab tidak. Untungnya ia tak marah setiap hari kutanyai. Sesekali juga aku jalan-jalan melewati rumah Isan. Tampak lengang. Tak satu pun sanak keluargannya terlihat. Hanya beberapa waktu lalu seorang ibu-ibu tampak menyapu halaman rumahnya. Kupikir itu adalah ‘mbok’ keluarga Isan.
“Minum susunya, Sayang. Mama tidak mau itu dingin di cangkir favoritmu,” kata Mama sambil menepuk bahuku dari belakang, menyadarkanku dari lamunan. Aku meminumnya, kemudian melaju bersama mobilku ke tempatku bekerja.
Dalam perjalanan tanpa sengaja kulihat seorang pria berkemeja abu-abu memandang ke arah mobilku. Ia duduk di bangku taman kota. “Isan?!” Kuhentikan laju mobil. Mengerem hingga aspal menghitam karena gesekan ban. Aku keluar. Berlari. Menghampiri pria itu, dan memanggilnya. “Isan!” Pria itu tampak bingung. Sekejap kemudian.. IA BUKAN ISANKU!
“Maaf, kukira…” Belum sempat aku melanjutkan, pria itu pergi. Meninggalkanku. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku terduduk lemas di tanah. Aku menangis merutuki diriku. Dalam hati aku berteriak: Tuhan..apa aku salah mencintainya? Tak sedikit pun kutahu tentang dirinya hari ini. Aku sudah terlalu lama menunggunya. Apa benar dia akan datang? Aku benar-benar mencintainya, Tuhan…
***
Tepat setahun setelah kepergiannya waktu itu. Benar-benar tiada kabar. Biasanya hujan. Tapi hari ini langit hanya menyisakan sedikit gumpalan-gumpalan kecil awan putih. Mungkin takkan hujan. Aku berangkat menuju Taman Rimbun dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang lumayan dekat dengan tempatku bekerja. Kupikir dengan ke sana pikiranku lebih terbuka.
Begitu sunyi. Yang kudengar hanya suara jangkrik dan kodok di kubangan air kolam. Sesekali pasangan kekasih lewat berpapasan denganku. Aku tertunduk. Hawa dingin mulai menusuk kulit. Kurapatkan lilitan syalku. Aku duduk di bangku tempatku dan Isan dulu. Aku mengusap gagang besi tepi bangku itu. Mulai berkarat. Aku berdiri, memerhatikan daun-daun oranye yang berjatuhan tergenang air. Genagan-genangan itu makin membesar saat kusadari hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.
“Aku salah…” desisku hampir tak terdengar.
Aku bisa mencium bau basah itu lagi. Di sini. Sejuk. Seakan aku telah dikirim kembali ke masa lalu. Masa saat aku bersama pria jangkung berkacamata itu. Dan aku mengingatnya lagi. Rindu kembali mengancamku. Mencekat tenggorokanku. “Bisakah aku menggenggam titik hujan itu untukmu, Isan?” Dan..saat itulah, saat-saat aku merasakan kehadiranmu di sisiku lagi. Gelap.

Comments

Baca postingan populer lainnya

6 Hal Sederhana yang Akibatnya Fatal Kalau Sampai Kita Lupa