“Mama kenapa, Ma?” tanya Reka padaku. Aku masih meraba
bingkai foto kecil yang kuberikan pada Reka sebulan yang lalu. Aku menggeleng
pelan sambil tersenyum. Tidak hentinya kupandangi benda yang tidak lebih besar
dari buku tulis itu.
“Pasti ini kenangan..”
Aku menatapnya. “Iya, Cuma kenangan. Ini bukti Mama
pernah seperti kamu juga.” Kali ini giliran Reka yang tersenyum.
“Aku tau, Ma. Di belakang bingkai ini ada namanya kok.
Inisialnya WB.”
“Udahlah. Sekarang Mama lebih cinta Papamu kok. Jangan
dibahas lagi, Ka,” kataku sambil meninggalkan kamarnya.
Aku
melongok jam dinding. Masih pukul delapan saat kudapati Farhan datang menjemput
Reka yang masih sibuk berdandan di kamarnya. Aku bergegas menuju dapur dan
membuat dua cangkir teh untuk Farhan dan Mas Joni yang tampak asyik ngobrol di
serambi rumah. Maklum, Mas Joni sudah ‘cocok’ dengan Farhan. Ia tampaknya
setuju dengan hubungan Farhan dan Reka yang kuduga akan berlanjut ke jenjang
yang lebih serius dekat-dekat ini.
“Ma, duduk sini. Aku mau bilang sesuatu sama kamu,” kata
Mas Joni sesaat setelah melihatku membawakannya teh hangat. “Farhan katanya mau
melamar Reka dua hari lagi. Orang tuanya bakal datang kemari.”
Ketika
Farhan kutanya apa ia benar-benar sudah siap untuk menikah dengan Reka, ia hanya
tersenyum dan mengangguk pelan. Suamiku kembali berkicau, “Ini niatan baik kan,
Ma. Kita nggak boleh menunda niatan baik.” Aku mengangguk. Mas Joni memanggil
Reka dengan suara beratnya. Reka muncul dari pintu kamarnya dengan sangat
anggun menurutku. Dandanannya tidak berlebihan dan pakaiannya sangat sederhana.
Sama sepertiku waktu dulu.
Setelah
Farhan menyeruput tehnya, Reka buru-buru menyalamiku dan Mas Joni. Diikuti
Farhan yang tampak canggung dan gembira. Mereka pamit hendak berkunjung ke
rumah orang tua Farhan di Cibubur. Ahh…Reka, putriku satu-satunya. Kau sebentar
lagi akan menikah, Nak!
Dua
hari setelah kunjungan Farhan ke rumah, aku benar-benar disibukkan dengan
sejumlah persiapan untuk menyambut kedatangan keluarga Farhan. Beragam olahan
aku masak. Beberapa tetangga sengaja kupanggil untuk membantuku membuat
hidangan yang kujamin cocok untuk lidah orang Cibubur. Aku sedikit gugup ketika
Mas Joni meneleponku bahwa ia akan datang sedikit terlambat malam ini. Terjebak
macet katanya. Beberapa saudaraku juga diundang dalam acara perdana untuk
putriku. Mereka rupanya sedikit mengenal reputasi orang tua Farhan di Cibubur.
Yang kutahu ayah Farhan bernama Wahyu dan ibunya bernama Ghina. Kupikir nama
Wahyu sudah banyak dipakai orang-orang di Indonesia. Jadi aku tidak heran atau
terkejut.
Pukul
delapan kurang sepuluh Mas Joni sampai di rumah dengan mobilnya. Aku merasa
lebih lega karena ia datang sebelum keluarga Farhan tiba. Aku hampir memeluk
Mas Joni jika saja Reka tidak tiba-tiba nyelonong mengecek tas bawaan Papanya.
Duhhh.. kebiasaan buruknya masih muncul meskipun beberapa menit lagi ia akan
dilamar kekasihnya. Adik-adikku sibuk membungkus ‘bawaan’ untuk calon besanku.
Mereka tampak senang karena artinya tidak lama lagi mereka akan punya ponakan.
Ibu dan Bapak juga gembira dengan acara ini. Alhamdulillah aku panjatkan karena
kedua orang tuaku masih diberi kesempatan untuk menghadiri acara lamaran cucu
pertama mereka. Mataku mulai panas dan meremang. Aku menghapusnya sebelum si
air menitik. Haru. Itulah yang kini kurasakan.
Sekitar lima belas menit kemudian, rombongan keluarga
Farhan datang. Ada tiga mobil yang terparkir di halaman, termasuk mobil Mas
Joni. Aku dan segenap keluarga menyambut kedatangan mereka dengan suka cita.
Yang pertama kulihat dari mobil adalah Farhan. Ia sangat gagah mengenakan jas
biru tua mengkilap. Sosok ideal untukku yang dulu. Sama seperti…ahh entahlah.
Langkah Farhan diikuti dua orang pria dan wanita yang kuduga adalah ayah dan
ibunya. Aku belum sempat menghitung mereka semua, jadi buru-buru kupasang kaca
mata yang semula menggantung di leherku. Ada empat belas orang termasuk Farhan
dan..dan..orang tuanya yang..yang memang kukenal. Aku menyalami mereka semua
dan menyilakan mereka untuk duduk.
“Bima…”
“Ya, kita besanan Mil…” jawab pria yang Farhan panggil
ayah. Deg!
Jantungku hampir copot saat kudapati sosok Wahyu Bima
menyalamiku. Aku hanya tersenyum dan sekuat tenaga mengubur rasa terkejutku.
Rombongan besanku duduk dan berbincang panjang lebar dengan Mas Joni. Tawa
terkadang meledak diantara perbincangan serunya. Aku mengecek keadaan di dalam
dan meminta para tetangga menyuguhkan minum untuk rombongan. “Ada berapa, Bu?”
tanya Mbak Wini padaku. Aku benar-benar tidak mendengarnya sebelum salah satu
tetanggaku itu mengulang pertanyaannya. “Eh, empat belas, Mbak..”
Yang diluar adalah Bima, yang kutahu pernah menjalin
kisah bersamaku dua puluh lima tahun yang lalu. Kupikir ia juga masih ingat
saat pertama kali dikirimkannya dua buah mawar ke rumahku. Aku disuruh memilih.
Dan aku pilih mawar yang berwarna merah, pertanda aku juga menyukainya. Ada
perasaan gugup saat aku berbicara dengannya, meskipun perasaan itu tinggal
sebutir pasir di hati ini. Tidak, aku tidak boleh terlena dan larut dalam
kenangan ini. Aku sudah punya Mas Joni yang lebih mencintaiku. Aku juga punya
putri yang sama cantiknya denganku dulu. Bima itu sekarang besanku. Besanku!
Comments
Post a Comment
Komentarlah dengan sopan. Tidak mengandung SARA. Komentar yang berisi link aktif akan dihapus dan dianggap sebagai spam