Skip to main content

Cerita Pendek: Remember Me


            Jam berdenting. Kayt memaksa tubuhnya bangkit. Ia tahu ada sesuatu yang harus dilakukan malam itu. Ia merampas gagang telepon rumah saat jam menunjuk pukul 12.05. Ia berperilaku tidak biasa, pikir sang ibu yang diam-diam mengamati putrinya di ruang tamu. Kayt mulai memencet tombol. Ibunya yang curiga dibarengi rasa penasaran perlahan menuruni tangga. Ada yang harus didengar, pikirnya.
            Kayt mendekatkan gagang telepon ke telinganya. Ia mendengar seseorang berkata, “Halo?” Kayt menjawab terbata. Ia menyamarkan suaranya. Sang ibu tahu putrinya sedang bersandiwara.
            “Ha..hh..halo? Selamat ulang tahun…” jawab Kayt gemetaran. Jantungnya menendang-nendang di dada. Ia meyakinkan bahwa orang itu adalah yang ia maksudkan. Sesekali ia melihat layar telepon dan mengecek nomor yang sudah tersambung dengannya itu. Ia masih menunggu jawaban. Jemarinya bermain cepat. Ia gugup. Suara berat yang tertahan kembali terdengar, “Dengan siapa saya bicara?” Hening. “Halo, siapa ini?” Kayt tidak menjawab. Itu adalah laki-laki yang mengisi hatinya beberapa tahun belakangan. Kayt tersenyum kecil. Hatinya melambung diterbangkan putik bunga yang berbentuk hati. Saat ini ia sudah jauh tinggi mengangkasa. Ia benar-benar bisa mendengar suaranya lagi.    
Ibunya masih mengamati dengan cermat.
            Sementara di sisi lain, malam itu sangat menyebalkan bagi Maur. Ia dibuat penasaran dengan telepon misterius yang beberapa menit lalu menghubunginya. “Tidak ada jawaban!” gerutunya dalam hati sambil mengusap tombol merah di ponsel. Sejujurnya ia heran, ada seorang perempuan yang mengucapkan  selamat ulang tahun untuknya. Dan itu adalah ucapan pertama yang ia dengar. Tidak berhenti sampai di situ. Ia bahkan tidak mengenal suara perempuan dalam telepon. Ia melihat dengan teliti satu per satu nomor itu. Ia mencoba memutar memori lamanya. Barangkali ada sesuatu yang tertinggal, tapi ia gagal.
            Pagi yang cerah, matahari bersinar terang dan hanya menyisakan sedikit gumpalan putih di langit. Setelah memantas-mantaskan diri dan cukup lama berada di depan kaca, Maur akhirnya menuju kampus, jurusan fisika di University of Sydney. Ia mengendarai sebuah van milik ayahnya. Sampai di depan ruang kuliah pukul 08.13. Ia terlambat tiga menit untuk mendengar dosen favoritnya berceramah. Ia masuk dengan hati-hati, takut menimbulkan kegaduhan yang pasti akan membuat semua orang di ruangan itu kesal. Ia duduk di bangku kosong barisan kedua. Ia mengambil catatan dan bolpoinnya. Dengan wajah antusias ia kemudian mendengarkan sang dosen tanpa tahu bahwa tidak jauh darinya ada seseorang yang sedang mengaguminya dan sesekali menatapnya.
            Maur benar-benar tidak menyadari, saat ujung hidungnya terpantul di mata Kayt. Atau saat tangannya menulis, menjadi sesuatu yang indah yang dapat Kayt lihat dalam satu harinya itu.
            Kuliah berakhir. Kayt bersama dua sahabatnya, Marry dan Anne pergi menuju sebuah taman kecil yang mereka jadikan base camp setiap kali mereka berkumpul. Mereka duduk di salah satu bangku yang tersebar di taman. Anne memulai dengan curhatan rutinnya tentang Andrew pacarnya. Sementara Kayt dan Marry hanya mendengarkan sambil sesekali tertawa menatap Anne yang begitu bersemangat dengan ceritanya itu. Mereka tidak akan peduli pada orang-orang yang lalu lalang jika sudah berkumpul. Itulah mengapa saat Maur dan Eric menunjuk ke arah gerombolan kecil itu, Kayt dan teman-temannya tidak menyadari.
            “Ayolah teman, aku tidak pernah berbohong padamu. Aku berani bersumpah gadis itu menatapmu terus-menerus di kelas. Sepertinya ia menyukaimu..” jelas Eric pada Maur.
            “Aku tidak merasa ada yang menatapku pagi tadi. Kau pasti mengada-ada lagi. Jangan bilang ini adalah akal bulusmu agar aku mau mendekatinya?!” Maur membuka bukunya sambil tersenyum kecut. Ia menunduk dan membiarkan Eric menatap salah satu gadis di gerombolan kecil itu.
            “Ya, Tuhan kau ini! Ya sudahlah! Terserah saja! Sebentar lagi aku masuk kelas! Aku duluan, Maur!” seru Eric sambil menepuk pundak Maur. Erik berlalu meninggalkannya.
            “Ya, ya, ya. Cepatlah pergi,” kata Maur lirih. Ia lalu menyandarkan dirinya di bawah pohon pucuk merah di pinggir taman. Ia membuka halaman pada bukunya satu per satu. Lama-kelamaan semua jadi terasa membosankan. Ia justru tergoda untuk mengetahui apa yang tiga gadis itu bicarakan. Tanpa sadar Maur telah menyorotkan pandangannya pada gadis berambut hitam dengan setelan tunik dan rok maroon itu. Ia yakin gadis itu bukan berasal dari Sydney. Itu adalah ras Mongoloid. Ia menebaknya dengan pilihan Cina. Rambut yang lurus dan mata yang sipit dengan warna coklat kehitaman. Ia pasti keturunan Asia.
            Kebanyakan manusia akan merespon pada tatapan yang membuatnya tidak nyaman. Dan itulah yang sedang Kayt rasakan. Jantungnya berdebar dan ia menjadi gugup karena ia merasa ada seseorang yang mengawasinya. Ia menoleh dan mencari. Tepat di ujung taman, seseorang dengan jumper merah menatapnya tanpa jeda. Bola mata Kayt membesar. Anne dan Marry menangkap mata Kayt. Mereka mengikuti jalurnya dan menemukan sosok laki-laki yang duduk di bawah pohon. “Kau kenal dia Kayt? Apa itu pacarmu?” tanya Anne si penasaran. Kayt mengalihkan matanya. Ia menunduk sambil menggeleng. Teman-temannya tersenyum menggodanya.
            “Kau pasti berbohong kan… Sejak kapan kau mengenalnya?” sergah Anne dengan telunjuk mengarah pada wajah Kayt.
            “Seleramu tidak buruk, Kayt,” komentar Marry diikuti tawa kecilnya.
            “Sudahlah, teman-teman. Aku tidak mengenalnya,” jawab Kayt muram. Matanya memejam dengan terpaksa. Sementara temannya terus menggodanya dengan beragam pertanyaan, Kayt hanya menggeleng pelan sambil menunduk. Ia sangat takut jika teman-temannya tahu sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang ia sendiri pun belum mengerti. Tidak lagi terdengar ocehan sahabatnya. Kayt berani membuka mata. Ia mengamati ekspresi wajah temannya yang berubah drastis.
            “Boleh aku bergabung di sini?” Petir menyambar. Kayt menoleh. Maur!
            “Bo..boleh..” jawab Kayt, Anne, dan Marry hampir bersamaan. Mereka terkejut dengan kehadiran Maur yang tiba-tiba. Maur duduk di samping Kayt dan Marry. “Kita satu jurusan kan?” tanya Maur memecah keheningan. Ia semakin santai berada di gerombolan kecil itu sekarang. Jauh lebih baik daripada sebelum ia melangkahkan kakinya menuju tempat itu.
            “Namaku Maurionna Atlas.” Perkenalan yang lumayan, pikir Maur.
            “Apa seperti sebuah buku dengan gambar bumi di dalamnya?” celoteh Anne. Tawa mengikuti kalimatnya. Maur hanya tersenyum geli. “Aku Anita Gallagher, mereka menyebutku dengan si penasaran,” lagi-lagi tawa mewarnai perkenalan singkat itu.
            “Namaku Mikhailla Marirosa. Kau bisa memanggilku Marry.”
            “Ya, Tuhan Marry, kau tidak perlu pasang wajah sok imut seperti itu! Dia teman baru kita. Aku bahkan bisa melihat di matamu kalau kau hendak menjadikannya kekasihmu. Benar kan?”
            “Anne! Hey kau gila!” seru Marry kesal. Mereka terlibat adu mulut dan saling cubit. Pertengkaran biasa antar sahabat.
            “Bagaimana denganmu?” tanya Maur pada Kayt dengan nada rendah.
            “Namaku Kayt,” jawabnya pendek, tidak seperti jawaban yang Maur harapkan. Ia ingin mengetahui gadis itu lebih jauh. Jadi ia berencana untuk bertanya lagi pada gadis itu.
            “Ya Tuhan, aku ada kuliah di ruang 4 sekarang!” pekik Anne mengagetkan. Ia berlari dan pergi. “Aku juga! Mrs. Eddith pasti sudah bicara soal disertasi Thomas Jonan! Matilah aku!” seru Marry cemas.
            “Hey! Hey! Tunggu!” Kayt bangkit dan mengejar mereka. Tapi tangannya tertahan. Maur memegangnya. Tubuh Kayt bergetar.
            “Tunggu Kayt! Sebentar saja!” Maur berdiri. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
            “Ya, kukira semua orang tahu bahwa orang dengan satu jurusan memiliki intensitas bertemu yang cukup sering.”
            “Oh! Bukan itu maksudku…” kata Maur gamang. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya tiap kali melihat sosok Kayt di kampus. Bukan hanya hari itu. Tapi beberapa minggu sebelumnya.
            “Kalau begitu, aku bisa pergi sekarang kan?” tanya Kayt sambil menggoyangkan tangannya yang masih berada dalam genggaman Maur. Maur menyorotkan matanya pada tangan Kayt. Ia tersadar dan langsung melepas genggamannya.
            “Apa kau ada acara setelah semua jam kuliah berakhir?”
            Kayt menggeleng ragu. Ia tidak tahu apa keputusannya menggeleng itu benar atau tidak.
            “Kalau begitu kita akan bertemu lagi di sini pukul 03.15 ya,” pinta Maur dengan wajah berseri.
            “Baiklah,” sahut Kayt sambil berlari mengejar teman-temannya yang sudah masuk ke kelas masing-masing. Kayt masih bingung apakah ia harus senang atau sedih bisa bicara lagi dengan Maur. Lalu bagaimana Kayt akan tersenyum di depan Maur? Semuanya terasa begitu sulit dan mendebarkan. Padahal ia pernah mengenalnya lebih daripada kata akrab.
            Kayt melirik jam di tangannya. Pukul 03.02. Jam kuliah berakhir. Setelah hampir dua jam Kayt menyelesaikan berbagai praktikum dan teori perhitungan fisika, akhirnya ia bisa bernapas lega. Ia hirup dalam-dalam oksigen dari pohon di taman agar mengalir ke otaknya, membuatnya kembali berpikir dengan jernih. Aku ada janji, pikirnya. Kayt mengeluarkan sebatang coklat dari tasnya. Ia mencari tempat duduk di taman sementara murid-murid lain bergegas meninggalkan kampus. Disobeknya kertas pembungkus coklat itu. Yang tersisa tinggal coklat Delfi kesayangannya. Kayt menelannya sedikit demi sedikit. Bayangan hitam menutupi coklatnya. Seseorang sedang berdiri di belakangnya. Kayt memutar kepalanya 90.
            Maur duduk di samping Kayt. “Jadi kau suka cokelat ya?” tanya Maur ramah. Alisnya separuh naik diikuti senyum nakal. Kayt menjawabnya singkat, “Begitulah.” Padahal jantung Kayt hampir copot mengatakannya.
            “Setahuku kebanyakan wanita menghindari cokelat. Mereka pikir cokelat bisa menambah berat badan mereka,” kata Maur lagi.
            “Iya, aku tahu itu. Dan aku tidak peduli.”
            “Kalau begitu aku menemukan orang yang cocok untuk pergi bersamaku ke Kafe Mary.”
            “Tapi..” desah Kayt pelan.
            Maur dengan cepat menarik tangannya. Ia menggandengnya menuju tempat parkir kampus. Tidak lama kemudian Kayt sudah berada di dalam mobil bersama Maur. Kayt tahu benar perkara mobil yang ditumpanginya. Tentang mengapa tidak ada kaca pengintai di atas kemudi. Ia memalingkan wajah ke kaca di samping kanannya. Menggosok perlahan besi-besi bengkok penyusun pintu mobil di ujung jemarinya. Ia juga mengamati warna keseluruhan van milik ayah Maur itu. Tidak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu, batinnya.
            Maur menoleh sesaat pada Kayt. Ia lalu berkata, “Eric bilang kau menatapku terus selama kuliah Mr. Marteen. Benar begitu?”
            “Apa?!” pekik Kayt kaget. Maur menangkap air muka Kayt.
            “Tidak apa-apa. Mengaku saja. Apa kau ingin mengatakan sesuatu padaku?”
            Kayt berkelit. “Ahh… itu… bukan, bukan apa-apa. Aku sebenarnya hanya ingin menyampaikan kalau presentasimu minggu lalu cukup keren.”
            “Benar begitu?” Maur menggoda.
            Kayt gelagapan. “Sungguh!”
            Maur tertawa merasa bahwa ia adalah pemenangnya. Kayt menahan pipinya yang mulai kemerahan. Ia mengaku kalah dalam kebohongan itu.
Maur memutar kunci mobilnya. Mesin mati. Maur dan Kayt turun dari mobil. Mereka masuk ke kafe dengan tenang. Maur menunjuk meja dekat jendela. Kayt mengangguk dan mereka segera menempati kursi masing-masing. Maur duduk di seberang Kayt. Semakin jelaslah wajah Asia Kayt di mata Maur. Maur tersenyum dan berpura-pura tidak terlalu mengagumi sosok Kayt. Ia segera memesan kopi. Satu kopi late, dan satu espresso permintaan Kayt. Lagi-lagi Maur tersenyum. Apa aku sudah berubah jadi playboy sekarang, tanyanya dalam hati.
            Minggu depan ada perayaan akhir tahun. Sebuah ide terbersit untuk Maur mengajak Kayt pergi bersamanya. Maur sedang merangkai kata ketika seorang pelayan Kafe mengantarkan pesanan mereka. Kayt memegang cangkirnya dengan dua tangan. Ia memutar-mutar cangkir itu seperti mainan. Kayt melakukannya dengan hati-hati. Bukan untuk mainan, tetapi ia sedang menunjukkan sesuatu pada Maur.
            “Hati-hati, kau bisa menumpahkannya nanti,” cegah Maur diikuti bibirnya yang berdesis. “Tunggu,” kata Maur dengan tubuh mematung. Kayt menatap tajam matanya.
            “Aku seperti pernah mengalami kejadian ini. Apa ini yang disebut de javu?”
            Kayt terdiam. Mengapa aku hanya diam, tanya Kayt pada dirinya sendiri.
            Beberapa detik kemudian barulah muncul satu senyuman di ujung bibir Kayt. Maur melanjutkan, “Minggu depan ada perayaan akhir tahun, kau sudah dengar kan?”
            “Hm..ehm,” angguk Kayt.
            “Apa kita bisa pergi bersama?”
            “Tentu.” Ada nada kekecewaan pada jawaban Kayt. Ia hanya boleh bicara sepatah kata itu. Begitulah aturan mainnya.
            Hari-hari berjalan seperti biasa lagi semenjak Kayt menolak Maur mengantarkannya ke rumah selepas ngobrol-ngobrol di Kafe Mary beberapa hari lalu. Tidak ada perjumpaan, tidak ada tegur sapa. Mereka tidak bertemu satu sama lain. Materi kuliah yang mereka ambil juga selalu saja berbeda. Dan itu adalah hal yang menyakitkan bagi Kayt. Ia tidak bisa melihat laki-laki di hatinya dalam dunia nyata.
            Hari itu adalah hari Jumat, tanggal 29 Desember. Tidak seperti biasanya, hujan lebat disertai petir dan badai mengguyur di Sydney hampir seharian. Hal itulah yang membuat kuliah terpaksa diliburkan. Tapi Kayt ingin keluar. Ia ingin pergi ke Enmore Theatre. Seperti dulu:
Hari itu adalah ulang tahun Kayt yang ke-16, dan kekasihnya membawanya ke sana. Mereka menonton sebuah film dan makan popcorn bersama. Kayt duduk di kanan, dan kekasihnya ada di samping kirinya. Mereka duduk dengan leluasa karena kebetulan pengunjungnya tidak banyak hari itu. Hanya ada dua orang jauh di samping kanan Kayt. Tiga kursi di sekitarnya kosong. Dan pengunjung lain tersebar berjauhan. Kayt tertawa melihat seorang kakek dengan kepala botak yang bolak-balik ke kamar mandi. Kakek itu menghalangi pemandangan dan membuat kesal pengunjung lain. Tapi Kayt dan kekasihnya malah cekikikan saja di balik bangku-bangku bioskop. Kekasih Kayt menggenggam tangan Kayt. Mereka berpandangan, dan panas di bibir Kayt menandakan bahwa kekasihnya itu baru saja mengecup bibirnya. Kayt kaget dan ia malu. Kayt sadar bahwa ia masih SMA dan keluarganya melarangnya terlalu bebas. Entah apakah ia gemetar karena takut atau gembira. Yang pasti itu adalah ciuman pertamanya sebelum semua berlalu sampai hari ini.
            Shin Mei, ibu Kayt, melarang putrinya pergi. “Lupakan saja, Sayang. Kau bisa sakit jika memaksakan diri,” pinta ibu Kayt perhatian. Menjadi hal yang tidak mengenakkan sekedar berkata tidak pada ibunya. Dan dengan berat hati Kayt mengurungkan niatnya pergi ke Enmore Theatre.
            Tanggal 30 Desember. Maur sudah beberapa kali mencari informasi pada Anne dan Marry tentang apakah mereka tahu di mana rumah Kayt,      dan semua bilang bahwa mereka tidak tahu. Untunglah siang itu berpihak pada Maur. Ia tidak perlu lagi ke sana ke mari mencari informasi tentang Kayt, tapi ia bisa memintanya sendiri pada si tokoh utama, begitu Maur menyebutnya. Maur bertemu Kayt di perpusakaan. Maur melihat gadis itu dengan wajah pucat dan mata yang bengkak. Maur mengamatinya lebih teliti sebelum Kayt menyadari. Kuku di jari Kayt bahkan terlihat memutih.
            “Kayt!” pekik Maur mengagetkan. Kayt menatap Maur. “Apa kau sakit, Kayt?” Kayt menggeleng pelan. Tubuhnya terlihat doyong. Maur berjalan lebih dekat padanya. Maur memegang lengannya yang terlihat begitu lemah. Kayt mendongak dan berkata padanya, “Kapan kau ingat, Maur?” Dan sekejap kemudian Kayt jatuh di dada Maur. Maur menangkapnya. Kayt pingsan! Kayt pingsan! Maur sangat panik saat membawanya ke ruang kesehatan kampus. Kayt tidak kunjung siuman, jadi ia membawa Kayt ke RPA Hospital. Bersama Eric ia membopong gadis kecil itu ke sana.
            Maur mencar-cari kartu mahasiswa milik Kayt, mencoba mencari tahu nomor telepon dan alamat rumah gadis itu. Setelah dengan lancang mengaduk-aduk, ia menemukan kartu itu terselip di bagian tersembunyi dalam dompet. Maur membacanya dan mencatat nomor teleponnya. Ia segera menghubungi nomor itu. Seseorang menjawab, sepertinya itu adalah ibunya Kayt.
            “Nyonya, ini Maurionna Atlas, teman Kayt, saat ini Kayt ada di RPA Hospital. Kayt pingsan, dan belum sadar sampai saat ini. Bisa Anda datang?”
            “Ya Tuhan! Aku akan segera ke sana!”
            Eric kembali ke kampus sementara Maur masih berada di rumah sakit menunggu ibunya Kayt datang.
            Seseorang dengan wajah oriental mengenakan setelan formal datang. Maur menduganya ibu Kayt. Terlihat jelas dari wajahnya. Begitu mirip dengan Kayt. “Maur?” tanya ibu Kayt heran. Dahinya berkerut dan alisnya naik separuh. “Oh, di mana putriku?” tanya wanita paruh baya itu sekali lagi. Maur sempat heran pada wanita itu. Ia memanggil namanya seolah mengenal dekat siapa dirinnya. Maur menunjuk pada sebuah ruangan. Dan wanita itu masuk.
            Kayt terbaring di rumah sakit padahal malam itu akan ada perayaan besar. Pasti ramai dan menyenangkan, pikir Maur. Tapi sayang Kayt tidak bisa hadir bersamanya. Jadi Maur memutuskan untuk pergi sendiri ke aula kampus. Di sana ia terus berpikir tentang sikap aneh Kayt padanya yang baru malam itu ia sadari. Ditambah sapaan ibu Kayt yang mengejutkan dirinya. Tiba-tiba sakit kepala hebat menyerangnya. Maur tidak berdaya melawannya. Ia menyandarkan kepalanya di pilar ujung aula dengan posisi duduk membelakangi keramaian. Untuk beberapa saat ia lupa akan semua hal.
            Eric menghampiri Maur. Ia heran melihat sahabatnya itu datang sendiri dan malah menyepi di serambi aula. Ia melihat Maur yang lemah sambil memegang kepala. Disentuhnya bahu sahabatnya itu. “Maur? Kau tidak apa-apa?” tanya Eric meyakinkan diri. Maur menoleh pada Eric. Tatapan bingung yang Eric dapat dari Maur.
“Kau siapa?” tanya Maur.
Ya, Tuhan…Maur hilang ingatan lagi, ucap Eric dalam hati. Eric segera membawa Maur ke kantor kakaknya di dekat Enmore Theatre. Dalam ketidakberdayaannya, Maur terus-menerus meracau dan bertanya siapa kau (Eric). Eric tahu betul apa yang sedang terjadi pada sahabatnya itu. Kakak perempuan Maur yang seorang psikolog sudah memberitahunya jauh-jauh hari. Dan ia menitipkan Maur pada Eric. Tapi Eric selalu merasa aneh jika ia bertanya perihal mengapa Maur seperti itu, karena kakak Maur tidak pernah memberitahunya. Selalu ada yang ditutupi, pikir Eric.
Setiba di kantor Nerela, kakak perempuan Maur, Eric disambut dengan cemas. Nerela segera menuntun Maur masuk ke dalam ruangannya. Eric membuntuti. Nerela menyuruh Maur duduk di hadapannya. Nerela meminta Maur memejamkan mata dan menghitung satu sampai sepuluh. Metode ini adalah metode hipnotis terbaru yang dipelajari Nerela selama di Inggris. “Pada hitungan kesepuluh, kau akan melihat dirimu berada di sebuah padang rumput hijau. Di sana terdapat bunga-bunga mekar yang indah. Lebah-lebah beterbangan, dan angin berhembus ke wajahmu.”

Maur tidak bergeming.
“Ada banyak sekali orang  di sekelilingku,” kata Maur pelan. Nadanya datar dan bingung.
“Kalau begitu sisakan mereka yang berada paling dekat denganmu,” Nerela lalu bertanya apakah Maur mengenalnya, Maur menjawab, “Tidak.. aku tidak mengenal mereka…”
Nerela terkejut. Biasanya saat terapi Maur akan mengingat siapa saja orang-orang itu, dan terapi selesai. Tapi hari ini Maur benar-benar melupakannya. Bahkan alam bawah sadarnya pun tidak mengenali orang-orang di sekitarnya. Nerela berbicara pada Eric, “Apa yang terakhir ia lakukan, atau bersama siapa dia sebelum ingatannya hilang?”
“Waktu itu aku sudah di dalam aula. Saat aku sadar Maur belum hadir, aku mencarinya dan kutemukan dia ada di serambi aula. Ia duduk dan kepalanya menyandar pilar.”
            “Apa dia mengingatnya lagi ya?”
            “Apa maksudmu, Nerela?” tanya Eric penasaran.
            Tiba-tiba Maur bergumam, “Tunggu… Aku kenal gadis itu…”
“Siapa dia?”
“Aku mengenalnya, tapi aku tidak ingat namanya.”
“Apa namanya Kayt Mei Lee?”
Maur mengangguk. Kedua mata Eric beradu dengan Nerela. “Kau mengenal Kayt, Nerela?”
“Ya, aku mengenalnya. Ternyata Maur mulai mengingatnya. Kupikir inilah penyebabnya: ia kembali mengingat-ingat masa lalunya dengan Kayt.”
“Demi Tuhan! Jadi sebenarnya mereka saling kenal?!” seru Eric tidak percaya.
Nerela tersenyum. “Kayt rupanya memilih menunggu adikku.”
Alis Eric mengerut. Ia tidak mengerti.
Nerela melanjutkan terapi adiknya itu. “Kau bisa bertanya tentang siapa dirimu, dan siapa orang-orang yang ada di sekitarmu itu padanya.”
“Aku sudah mengingatnya,” jawab Maur setelah beberapa saat hening di ruangan itu.
            “Baiklah, kau bisa membuka matamu pada hitungan ketiga. Satu..dua..tiga..”
            Maur membuka matanya. “Apa aku sinting lagi?” Ia melirik jam tangannya. “Sungguh, delirium ini membuatku terlambat mengikuti perayaan!” gerutu Maur kesal. Maur menoleh ke samping kanannya. “Maafkan aku lagi, Eric.”
            Eric bangkit dari duduknya. “Tidak masalah. Ayo, masih tersisa satu jam!”
            Eric dan Maur berjalan ke luar ruangan. Nerela mengikuti mereka hanya sampai di depan pintu. Saat Eric menoleh ke belakang untuk mengangguk memberi salam pada Nerela, wanita itu meletakkan telunjuknya di depan bibir dengan posisi tegak. Eric tersenyum getir.
            Kayt sudah sadar. Ibunya ada di sisinya. “Siapa yang mengantarku kemari?”
“Maur. Bagaimana bisa dia bersamamu? Apa dia sudah mengingatmu lagi?” Kayt menggeleng penuh kekecewaan. Mei menatap wajah putrinya. Tangannya menyentuh pipi dan rambut Kayt. Ada air mata yang sebenarnya ingin ia genangi di pipinya. Tapi ia mencoba bertahan, bertahan untuk putrinya. Ia tidak ingin kesedihan putrinya bertambah.
“Sepertinya tidak ada harapan ia bisa mengingatku lagi. Jadi kuharap akan ada sebuah hubungan lagi dari nol. Meskipun itu artinya aku harus menunggunya lagi: apakah ia akan menyukaiku, atau orang lain. Kupikir permainannya begitu, Bu.”
Mei menunduk.
Terdengar suara kembang api di mana-mana. Kayt dan ibunya melihat ke luar jendela. Ia mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk. Tapi belum mantap Kayt duduk, rasa nyeri di pinggang kanannya kembali menerkam. Ia meringis sambil memegangi pinggangnya itu. Ibunya yang melihat langsung membantunya berbaring kembali. “Kau tidak pernah bercerita pada ibu tentang sakitmu yang sering kambuh. Beginilah akibatnya, sakitmu menumpuk dan kau terpaksa tidak bisa bangun. Kau hanya boleh berbaring sampai dokter mengijinkanmu bergerak.”
            “Aku hanya ingin melihat kembang apinya, Bu…”
            Mei menyibak tirai jendela. “Sekarang kau bisa melihatnya dari sini.”
             Kayt mengangguk. Gigi-giginya bersinar ditimpa cahaya lampu. Malam tahun baru yang paling diingat Kayt, karena malam itu ia akan tetap berada di rumah sakit.
            Pagi yang mendung, tidak terdengar suara burung berkicau. Yang dapat Kayt tangkap hanya suara kursi dorong yang berderit-derit di sepanjang koridor rumah sakit. Sejatinya Kayt benci ada di rumah sakit. Selain baunya yang menusuk hidung, rumah sakit juga meninggalkan ruang sendiri di hatinya. Tentang sebuah kenangan tidak menyenangkan yang pernah dialami.
Kayt benci mengingatnya bahwa malam itu, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-17, kekasihnya yang bernama Maurionna Atlas mengajaknya berkencan di Sydney Harbour Bridge. Mereka berhenti di atasnya dan menikmati ribuan cahaya berwarna jauh di ujung mata mereka. Cahaya-cahaya itu berpendar dan menyisakan sebuah siluet apartemen-apartemen mewah di pinggir kota. Sesekali mereka beradu pandang dan tersenyum. Hal yang sangat sangat wajar dilakukan sepasang kekasih. Tidak ada yang lebih menghangatkan mereka daripada sapuan angin di sepanjang sungai. Juga tidak ada yang lebih indah dari bersama menikmati panorama menakjubkan yang dengan cuma-cuma bisa mereka nikmati dari atas mobil, berdua. Dan hanya berdua. Mobil-mobil di jalan itu sangat jarang melintas ketika malam hari. Terlebih waktu itu sudah menunjuk pukul 11.00. Maur masih meyakinkan diri bahwa malam itu adalah malam terbaik yang mereka habiskan berdua. Kedua sejoli itu kemudian sepakat untuk duduk di tepi jembatan. Di besi-besi besar yang sekilas tidak membahayakan. Maur naik di atas besi-besi itu duluan. Disusul Kayt yang bersusah payah naik sendiri meski Maur sudah menawarkan bantuan.
“Aku kan sudah bilang, itu sulit. Sini, biar kubantu,” ucap Maur setengah mengejek. Tangannya menjulur, dan telapak tangan halus yang ia harapkan hanya berupa angin dingin.
“Aku bisa sendiri. Mungkin lain kali kau harus pilih tempat kencan yang lebih baik dari ini. Apa kau akan membuatku kesulitan seperti ini terus, hah?” Kayt mengomel.
Maur terkekeh. Beberapa detik kemudian Kayt sudah berada di sampingnya.
“Kau cantik, Kayt…” Mata Maur tidak lepas dari wajah Kayt yang kuning kemerahan. Di dahinya sebenarnya tertulis sebuah peringatan: JANGAN PANDANGI AKU TERUS, WAJAHKU BISA TERBAKAR NANTI! Tapi Maur tidak melihatnya. Yang ia tahu, gadis pujaannya kini sedang berada di sisinya.
“Apa kau menyukaiku karena aku cantik saja?”
“Kau pintar.”
“Ya, semua tahu itu.” Mata Kayt memutar matanya sombong. Ia menang satu poin dari Maur. “Lalu?”
“Kau juga tidak terlalu pamer seperti mereka.”
“Pamer? Apa yang kau maksud dengan pamer?”
“Ya, pamer apa yang tidak laki-laki punya dari mereka,” kata Maur sambil tertawa nakal. Pandangannya mengedar pada rok Kayt yang tersingkap angin. Kayt buru-buru memegangi ujung roknya, berpura-pura seolah Maur tidak melihatnya barusan. Maur menjadi sedikit canggung ketika Kayt melakukan itu. Ia terpaksa mengalihkan pandangannya pada sepatu kets milik Kayt. Maur sangat menyukai sepatu Kayt yang feminim. Ia suka semua gaya berpakaian Kayt. Aku tidak akan membandingkannya dengan gadis lain, pikir Maur.
“Besinya sedikit licin yah?” tanya Kayt meyakinkan Maur.
“Iya, hati-hati saja.” Pesan singkat Maur yang paling Kayt ingat dari kenangan malam itu.
Tangan Kayt menengadah di depan bahunya. Ada titik-titik air yang jatuh ke kulitnya. “Sepertinya akan segera turun hujan. Gerimis kecil ini sudah jatuh di jariku, Maur…” Ada sedikit perpanjangan ritme di kata Maur yang Kayt ucapkan. Kayt memastikan Maur percaya padanya, dan memutuskan secepat mungkin kembali ke mobil, atau ke rumah. Tapi Maur tidak bergeming. Tatapannya juga kosong.
“Apa kau sedang ada masalah?” tanya Kayt gamang.
“Bukan… perasaanku tidak enak saja..” Maur masih memandang jauh ke ujung sungai. “Seperti sesuatu akan terjadi padamu.” Barulah Maur menoleh. Jantung mereka berhenti untuk sesaat. Sebuah kengerian di mata Kayt, dan sebuah kejadian memilukan yang Maur bayangkan.
“Kenapa kau berkata begitu?” Pertanyaan itu mengurungkan Kayt untuk segera meninggalkan besi menyeramkan tempatnya berkencan bersama Maur.
Satu..
Dua..
Tiga..
Kesunyian merayapi. Suara gemuruh dengan cepat terdengar mengarah pada mereka. Mereka masih terpaku, menatap luas ke cahaya-cahaya merah dan biru. Hujan lebat turun tanpa ampun. Maur dan Kayt basah kuyup seketika itu juga. Mereka gelagapan dan berusaha dengan hati-hati kembali ke mobil. Kayt berjalan lebih dulu, dan Maur memilih di belakang Kayt. Ia tidak ingin gadis itu terpeleset dan jatuh.
Besi semakin licin. Kayt beberapa kali terpeleset, tapi Maur meraihnya. Kayt selamat dan ia segera masuk ke mobil Maur. Masih dengan Maur yang kesulitan meraih pijakan terakhir, dengan lompatan lebar yang harus digapainya. Maur mengambil ancang-ancang. Ia menaikkan kakinya dan melompat. Besi berkarat yang terkena hujan tentu lebih licin dari saat mereka terkena panas. Satu pijakan terakhir itu meleset di kaki Maur. Lututnya menggesek ke bawah celah, disusul tubuhnya yang mulai ambruk. Maur tergelincir. Tangannya mencoba meraih sesuatu di atas ketinggian lebih dari 100 meter. Dengan keringat yang bercampur dengan air hujan ia paham betul bahwa nyawanya ada di antara otot-otot tangannya saja. Ia meraih sebuah pipa besi kecil yang juga sudah mulai berkarat. Artinya besi itu juga bisa membawanya pada kematian.
Menyadari satu-satunya orang yang bersamanya belum juga masuk ke dalam mobil, Kayt jadi makin gelisah. Ditambah ucapan aneh Maur tadi. Ia bergegas keluar dari mobil dan melihat mengapa Maur lama sekali. Ia terkejut karena tidak mendapati seorang pun berdiri di besi-besi besar itu. Lalu ke mana dia? Kayt mencoba menyerukan nama kekasihnya itu. Dua kali Kayt memanggil, satu jawaban terdengar samar. Kayt melongok ke arah datangnya suara itu. Yang dilihatnya adalah bayangan kabur bergerak-gerak di bawah. Tampaknya menggantung. Kayt tidak dapat melihat dengan jelas karena matanya terguyur hujan. Tapi ia dapat memastikan kalau itu adalah Maur!
“Maur!” pekik Kayt panik.  Ia mengulurkan tangan kanannya ke bawah untuk Maur. “Raih tanganku! Ayo!” Situasi begitu menegangkan. Hujan terasa mencekam saat Maur melepas satu tangannya dan berusaha keras memegang Kayt.
“Lebih dekat lagi, Kayt! Aku tidak bisa menjangkaumu!” tangan Maur hanya mengayun-ayun percuma. Kakinya menggantung dan seluruh berat di tubuhnya bertumpu pada satu lengannya. Kayt menyondongkan tubuhnya ke bawah. Lengan kiri berpegangan pada besi vertikal di bagian terluar rangka jembatan, dan satunya lagi meraih apa yang bisa ia tarik untuk menyelamatkan Maur dari bibir maut. Kayt semakin condong. separuh tubuhnya dari pinggang ke atas menggantung, dan selebihnya ada di atas jembatan. Kayt gemetar ketakutan sekaligus kedinginan. Tanpa ia sadari, karena tidak ia lihat sebelumnya, sebuah besi menyeruak merobek bagian pinggangnya. Kayt menjerit. Ia meringis menahan sakit. Darah mengalir cepat dari luka menganga itu. Ia menderita, tapi lebih menderita lagi jika ia harus kehilangan Maur, begitulah yang membuatnya masih bisa bertahan.
“Sudah bisa kau gapai?” tanya Kayt yang mulai lemas dan penglihatannya kabur.
“Belum juga! Aku akan coba berayun ke pinggir sungai. Setelah menimbang-nimbang, mungkin ini satu-satunya cara!” seru Maur terbata. Tetes air hujan berkali-kali masuk ke mulutnya. Maur meludah sambil melihat kekasihnya terjulur ke luar jembatan dan menantinya melakukan sebuah tindakan.
Di saat yang sama, darah mengalir begitu deras dari pinggang Kayt. Ia tidak yakin siapa yang akan selamat. Ia pikir mereka berdua akan mati sama-sama seperti kisah Romeo dan Juliet. Kayt sudah hampir tidak berdaya saat Maur dengan mengerikannya terhempas ke pinggir sungai. Kayt terpana dengan apa yang ia lihat di depan matanya sebelum jeritan keras keluar dari tenggorokannya. Sebuah nada tinggi yang memilukan. Kayt melihat kekasihnya itu tidak bergerak selama beberapa waktu. Ia mengira Maur sudah mati. Mati di bawah sana sebagai kado ulang tahunnya. Kayt menangisi kesedihannya dengan darah. Benar-benar berdarah.
Terdengar suara mobil berderu. Kayt dengan hati dan pinggang yang berdarah tergopoh-gopoh menghampiri mobil. Sambil memegangi lukanya yang diguyur air, ia akhirnya tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia masuk mobil dengan susah payah menahan rasa sakit. Dinyalakannya semua lampu mobil yang ada. Ia mematahkan kaca pengintai di atas kemudi dan menggenggamnya dengan sangat erat. Ia kemudian berjalan pincang ke depan mobil dan memantulkan cahaya lampu ke kaca. Pantulan itu mengarah ke belakang mobil Maur saat Kayt melihat dari kejauhan sorot lampu mobil lain mendekat dan kebetulan melintas. Kayt menggoyang-goyangkannya lebih cepat. Mobil melambat. Tidak lama mobil itu berhenti tepat di belakang van milik Maur.
“Tolong!” pekik Kayt tidak tahan lagi.
Seorang pria berumur sekitar 30-an dan seorang wanita keluar dari mobil itu. Mereka memakai payung. Kayt melihat pakaian formal yang mereka kenakan. Ia menduga mereka adalah pebisnis atau semacamnya. Dua orang itu menghampiri Kayt. Dan Kayt hanya bisa menunjuk-nunjuk ke pinggir sungai.

Pria berjas itu langsung memapah Kayt panik ke dalam mobil sesaat setelah ia melihat luka di tubuh Kayt. Si wanita melongok ke bawah sungai. Pandangannya menyapu ke segala penjuru. Wanita itu setengah menjerit saat samar-samar ia melihat seonggok tubuh manusia terkapar di pinggir sungai.
“Di bawah sana ada temanku. Kami duduk-duduk di sana. Dia terjatuh saat hendak kembali. Dan saat aku mencoba menolongnya, sebuah besi melukaiku. Dan dia memutuskan untuk berayun ke tepi. Tolonglah dia, Nyonya.” Kayt memohon. Wajah wanita itu panik dan ketakutan. Tangannya bergetar meraih ponsel di tasnya. Wanita berperawakan besar itu menghubungi tim medis, dan pria yang menggendong Kayt tadi menelepon polisi.
Untuk Kayt, setelah itu gelap. Ia hampir anfal dengan banyak kehabisan darah dari lukanya yang cukup lebar.
Kayt memejamkan mata. Kenangannya terasa getir untuk dilihat dan diingat kembali. Ia tidak yakin apakah ia pantas menyebutnya kenangan atau mimpi buruk. Yang jelas keduanya menyisakan trauma di hidupnya. Setelah kejadian itu, ia tidak pernah berani menginjakkan kaki di jembatan. Dan jika ada jembatan yang akan ia lalui, ia akan memilih jalan memutar dan menghindari salah satu hal yang melubangi hatinya itu.
            Kayt berbaring di kamar hanya sendiri. Ibunya pergi ke luar untuk membelikannya kopi dan bunga untuk kamarnya. Ia merasa sangat bosan selama beberapa hari itu. yang ia lakukan hanya berbaring dan berbaring. Sesekali ia pergi ke kamar mandi dengan dibantu ibunya. Sempat ia mendengar percakapan ibunya dengan dokter yang merawatnya, dokter bilang kemungkinan Kayt akan lumpuh jika memaksa bergerak. Syaraf tulang belakangnya terganggu akibat kecelakaan di malam tiga tahun lalu. Dan bagaimana dengan kuliahnya? Kayt berpikir keras. Jadi, pagi itu ia memberanikan diri bangun dan belajar berjalan tanpa bantuan suster atau pun ibunya. Sambil menahan sakit di pinggangnya, Kayt memaksa kedua kakinya turun dari tempat tidur. Kayt meringis dengan mata sesekali mencuri ke arah pintu. Takut kalau-kalau seorang suster masuk memeriksanya. Ia pasti akan kena marah. Kayt berhasil duduk di tempat tidurnya. Ia lega dengan kemajuan yang ia usahakan sendiri itu. Kayt tertawa girang. Giginya menyembul di tengah katup bibir merahnya. Seolah kebahagiannya hanya terletak pada berbaring dan duduk. Kayt sekarang bisa melihat dengan jelas bunga-bunga di taman. Mobil-mobil berjajar membentuk huruf U di ujung parkiran. Lalu Kayt tenggelam dalam lamunannya.
            Seseorang mengetuk pintu dua kali. Kayt tidak memperhatikan, ia hanya menyuruh orang itu masuk.
            Maur masuk ke kamar Kayt. Ia membawa sekeranjang buah dan sebuah bingkisan untuk Kayt.
            “Ibu kenapa lama sekali?” kata Kayt setengah menggerutu. Pandangannya masih pada mobil-mobil itu.
“Ini aku, Kayt,” jawab Maur lembut.
Menyadari jawabannya bukan berasal dari sang ibu, Kayt buru-buru menoleh. Sesuatu yang sama sekali tidak ia duga terjadi di pagi itu. Maur datang. Kayt heran sekaligus senang. “Maur…”
“Anne dan Marry minta maaf padamu karena tidak bisa datang. Mereka sedang ada banyak deadline. Jadi aku datang kemari mewakili mereka semua..”
Pilihan kata yang buruk, karena itu artinya kedatangannya bukan semata-mata keinginannya. Tapi Kayt tidak peduli saat gerak-gerik Maur mulai terlihat canggung. Kayt masih sedikit memelototi laki-laki itu.
“Kau tidak banyak berubah ya?” Kayt memulai pembicaraan. Berharap Maur menyadari sesuatu.
“Tentu saja, kita tidak bertemu hanya beberapa hari. Bagaimana mungkin aku berubah?”
Dalam hati Kayt: Kau memang tidak berubah. Tapi kau melewatkan perjalanan cinta kita begitu saja. Apa ini adil?
“Bagaimana kabarmu?” tanya Maur. Ia meletakkan bingkisannya di atas meja di sudut ruangan.
“Ya, beginilah. Kau bisa melihatnya sendiri kan?” Kayt mencoba sebiasa mungkin di depan Maur. “Ngomong-ngomong kau tidak perlu repot-repot membawakanku bingkisan seperti itu.”
“Tidak apa-apa. Jika maksudmu kau menyukainya, aku sih senang-senang saja.”
Kayt tersenyum malu.
“Apa ibumu sedang pergi?” tanya Maur lagi. Raut wajahnya mencari-cari.
“Ya,” jawab Kayt singkat.
“Kalau begitu aku akan bicara penting padamu.” Maur menjulurkan kepalanya lebih dekat pada Kayt. Ia berbisik, “Jika kau sudah boleh pulang, kabari aku ya?”
“Untuk apa?”
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan.”
“Aku benci jalan-jalan!” tukas Kayt spontan.
“Kalau begitu aku akan mengajakmu makan es krim di Gelato Blue.”
“Boleh juga.”
“Jadi, kapan kau boleh pulang?”
“Aku tidak yakin.” Kayt mengingat pembicaraan ibunya dengan dokter yang merawatnya.
“Jadi, sebenarnya apa yang membuatmu berada di tempat ini lebih lama?”
“Itu urusan dokter. Aku tidak mengerti.”
“Hmm…baiklah. Apa kau ingin kopi? Aku membelinya juga.”
“Boleh.” Kayt meraih cangkir kopi yang Maur tawarkan.
Kayt meminumnya. Dua kali tegukan dan ia memberikannya lagi pada Maur.
“Itu tadi milikku. Aku baru mau mengambilkannya untukmu.”
“Apa?!”
“Kita minum di gelas yang sama, ingat itu!” ledek Maur.
Pipi Kayt memerah. “Kenapa kau tidak mengatakannya?!” Kayt memukul bahu Maur. 

***

Hari-hari membosankan di rumah sakit berlalu. Kayt akhirnya diperbolehkan pulang. Ibunya mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah. Ayahnya juga ada di sana. Kayt tidak merasa canggung sama sekali meskipun ayah dan ibunya sudah tidak serumah lagi. Mereka bertiga melakukan banyak hal dalam sehari itu. Kayt berandai-andai jika ayah dan ibunya rujuk, pasti ia akan jadi orang paling bahagia di dunia ini.
            Satu pesan diterima. Begitulah yang tertera di ponsel Kayt. Ia membuka pesan itu.
#Maur# Bagaimana kabarmu, Kayt? Maaf aku mencuri nomormu dari kartu mahasiswamu.
#Kayt# Sudah agak baikan. Tidak apa-apa. Ajakanmu minggu lalu masih berlaku kan? Aku ingin pergi ke suatu tempat.
#Maur# Tentu saja! Aku akan membawamu kemana pun yang kau mau, Tuan Puteri...

***

            Saat itu masih terhitung libur awal tahun, jadi Maur tidak perlu repot-repot membolos demi Kayt.  Mereka pergi bersama setelah mendapat ijin dari Mei. Maur pamit akan pergi ke Gelato Blue Newton. Dan saat tiba di sana, Kayt justru memintanya melaju ke utara. Terus ke utara sampai mereka tiba di Sydney Harbour Bridge. Maur heran kenapa gadis ini memintanya ke sana? Jarak yang jelas melenceng jauh dari tujuan semula. Maur sama sekali tidak mengerti.
            Kayt meminta Maur menepi di jembatan itu.
            “Sebenarnya kenapa kau memintaku berhenti di sini?”
            “Aku ingin tunjukkan sesuatu padamu, Maur.”
Maur mendengar nada ketakutan dan penyesalan pada kalimat yang keluar dari bibir Kayt.
Kayt keluar dari van biru Maur. Maur mengikuti. Kayt menyentuh besi-besi di pinggir jembatan. Tampak berbeda dari sebelumnya bagi Kayt. Besi-besi besar itu kini sudah terhalang pagar. Mungkin karena kejadian itu. Kejadian yang melibatkan dirinya. Kayt masih terdiam.
Maur terus mengamati setiap gerakan yang Kayt lakukan. Bahkan ketika rambut Kayt terbawa angin dan berkibar dengan lembutnya, ia tetap mengawasi. Maur ingin menyentuh rambut hitam itu, atau memeluk pemiliknya. Tapi ia tidak melakukannya.
“Kau pernah dengar tidak sebuah cerita tentang sepasang kekasih yang hampir mati di jembatan ini?” Kayt tersenyum getir.
“Rasanya tidak,” jawab Maur.
“Yah, sayang sekali, padahal aku ingin kau menceritakannya.”
Kayt menyentuh pagar jembatan. Tubuh kecilnya menyandar ke sana. Kayt menghadap ke jalan, dan Maur menghadap ke sungai. Itu artinya mereka berhadapan.
“Apa kau punya pacar?”
“Tidak. Mungkin belum.”
“Apa kau pernah berpacaran?”
“Aku tidak ingat.”
“Baiklah.” Kayt kehabisan kata-kata.
“Tapi kau juga sendiri kan?”

“Hm..ehm.” Kayt mengangguk.
“Sepertinya aku menyukaimu, Kayt.” Maur meraih tangan Kayt. Kayt memeluk Maur dengan air mata haru. Maur agak terkejut, tapi akhirnya ia larut dalam suasana itu.
            “Aku bahkan lebih dari pada itu. Aku mencintaimu, Maur.”
Hening, dan mereka masih berpelukan.
“Apakah ini artinya kau menerimaku?”
“Entahlah. Aku sudah menerimamu sejak lama.”
Maur tersenyum bangga. Pernyataannya tidak sia-sia.
“Maur, bisa tolong ambilkan ponselku di mobil? Aku ingin mengambil foto.”
Maur menuju mobilnya. Tidak biasanya Kayt menyuruhnya seperti itu. Menyebalkan, gumam Maur. Ia melongok ke dalam mobil dan mencari-cari barang yang Kayt maksud. Dan saat ia hendak berbalik berkata bahwa ponsel Kayt tidak di sana, Maur melihat Kayt siap melompat ke bawah. Maur berlari dan mencoba menahannya secepat yang ia bisa. Tapi terlambat. Tubuh kecil itu terlanjur jatuh ke sungai. Saat itulah semua kilatan masa lalunya muncul kembali. Ia bisa melihat saat tangan Kayt mencoba meraihnya. Ia bisa melihat ciuman pertamanya di Enmore Theatre, atau nomor telepon yang menghubunginya dan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Ia juga ingat kenapa Kayt pernah bilang “Kapan kau ingat, Maur?” di hari sebelum Kayt dilarikan ke rumah sakit. Maur juga ingat kenapa Kayt memutar-mutar cangkir kopinya saat mereka berkunjung ke Kafe Mary. Itu adalah kebiasaan Maur. Ia selalu melakukannya sebelum meminum kopi. Kayt sudah berkali-kali mengingatkannya. Tanpa sadar air mata menitik di pipi Maur. Kenapa ia bisa melewatkan salah satu cerita terbaik yang ia miliki? Kenapa harus dengan kenangannya bersama Kayt saja yang ia lupakan? Kayt pasti sangat tersiksa dengan ini. Dan selama ini.
Maur kembali melihat ke bawah jembatan. Bulatan di air semakin besar. Tanpa pikir panjang, Maur menceburkan diri. Mobil-mobil dengan kecepatan randah yang kebetulan lewat di jembatan itu berhenti. Orang-orang keluar dari mobil. Mereka berteriak dan melihat ke bawah jembatan.
            Sadar-sadar Maur sudah berada di rumah sakit. Alat bantu pernapasan masih terpasang di wajahnya. Ia sempat gelagapan saat sadar, tapi untunglah ada Nerela dan ibunya di sana. Mereka menenangkan Maur. Yang pertama ada di pikiran Maur adalah Kayt, kekasihnya. Ia tanpa persetujuan mencopot selang bantu udara dan infusnya.
            “Di mana Kayt?”
            Malla, ibu Maur, panik. Nerela menjelaskan, “Kayt selamat. Tenanglah.”
“Di mana dia?”
“Di kamar sebelah.”
Maur melonjak dari tempat tidur. Ia setengah berlari keluar kamarnya. Ia mandapati banyak orang di luar. Ibu Kayt, ayah Kayt, Anne, Marry, dan teman-teman Kayt lainnya yang tidak Maur kenal. Mereka menatap Maur sedih. Terlebih ibu Kayt. Matanya terlihat sangat sembab, bahkan ia terus menunduk saat melihat Maur di hadapannya.
“Kayt…”
“Masuklah,” kata ibu Kayt hampir tidak terdengar.
Maur mendorong pintu kamar Kayt berat. Kepalanya menyembul di balik pintu kayu. Mata Maur mendadak berair saat melihat kekasihnya itu terbujur tidak sadarkan diri di atas kasur rumah sakit. Lutut Maur gemetar dan ia berubah jadi begitu lemas sampai tubuhnya tersungkur di lantai. Air mata Maur terjatuh dan membasahi lantai di bawahnya. Ia memukul-mukul lantai dan terus menyebut nama Kayt. Ia meringkuk kesakitan. Semua penyesalan dan kekecewaannya menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Mei masuk melihat Maur dan putrinya. “Ini, kupikir ini adalah surat untukmu. Aku menemukannya terselip di balik novel yang ia baca. Ambillah.”
Maur mengambilnya, dan membacanya sambil bersandar ke dinding.
Maur,
Sejujurnya aku malu padamu. Kita baru berkenalan beberapa waktu yang lalu dan aku sudah menyuratimu begini. Mungkin kau berpikir begitu. Tapi entahlah. Pikiranmu milikmu, dan pikiranku milikku.
Maur… aku benar-benar merindukanmu. Terkadang aku bahkan menangisimu tentang mengapa ingatanmu belum juga kembali. Dan terkadang aku juga protes, mengapa justru aku yang kau lupakan, HANYA AKU SEORANG! Padahal kau bilang kau merasa sangat bahagia hidup di dunia bersamaku. Bukankah itu menyenangkan? Lalu mengapa kau lupa semua hal tentangku seolah aku hanya kenangan buruk dan kau tidak ingin mengingatku lagi? Bukankah itu berbeda ya? Mengapa sih otakmu justru diseting untuk melupakan kenangan manis?
Aku sudah berusaha bersabar menunggu ingatanmu kembali. Seperti yang Nerela katakan padaku, otakmu butuh waktu untuk memulai proses pemulihannya. Ia menawarkan dua pilihan padaku: bersabar menunggumu atau pergi dan melupakanmu. Tapi ia tidak mengatakan padaku bagaimana caranya pergi dan melupakanmu. Jadi aku memilih bersabar menunggumu.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku sembuh. Tapi kau belum. Aku mengunjungimu dan melihat kondisimu. Kau ingat semua orang. Kau hapal kenangan bersama mereka. Tapi kau malah tidak mengenaliku saat aku datang membawakan buah dan bunga segar untukmu. Aku shok dan kau bersikukuh tidak mengenalku. Semua orang heran mengetahuimu. Dan saat itu rasanya aku seperti dicampakkan di depan keluargamu. Aku hanya bisa menangis dan menahan kekecewaan dalam batin. Aku tidak begitu paham saat itu apakah kau sedang berbohong atau kau sungguhan. Kemudian Nerela menjelaskan semuanya padaku.
Heran ya mengapa aku tidak memberitahumu saja soal ini? Mungkin akan terdengar mudah. Ya, itu pernah kulakukan kok. Beberapa kali. Dan kau kemudian kehilangan semua ingatanmu untuk beberapa waktu. Semua. Itu karena kau mencoba mengingat-ingat tentangku atau memecahkan teka-teki di otakmu. Itu adalah efek yang selalu terjadi padamu. Dan setelah itu kau pasti menjalani terapi dengan Nerela. Benar kan?
Kau tahu bagaimana aku? Aku memilih menjauh darimu, tapi mengamatimu diam-diam. Yah, aku jadi terlihat seperti penguntit. Padahal kau pacarku. Tapi setidaknya bagiku kau masih pacarku karena kita belum pernah putus. Dan ironisnya kau malah tidak mengenalku sama sekali. Hubungan macam apa sih ini?
Jadi, kupikir, mungkin kita bisa memulainya lagi dari awal. Benar-benar dari nol. Seperti saat kita dulu. Aku juga tidak akan mengungkit kejadian dan kenangan kita. Aku akan meneruskan permainanmu. Itu pun jika kau tertarik padaku saat ini.
Entah siapamu,
Kayt

Setahun kemudian. Tanggal 5 Februari. Maur kembali mengunjungi Kayt yang hingga saat ini masih koma. Maur dengan hati-hati masuk ke kamar Kayt. Laki-laki itu membawa sebuah kotak merah berbentuk diamond. Maur membukanya. Itu adalah sebuah cincin. Cincin emas putih dengan potongan kecil rubi di atasnya. Warnanya mengkilat tertimpa sinar lampu. Maur mengamatinya untuk terakhir kali sebelum ia memakaikannya pada Kayt. Ukurannya begitu pas. Maur tersenyum gembira. Tangannya terus menggenggam jemari mungil Kayt. Tiba-tiba jari kelingking Kayt menghentak. Maur terpana dengan apa yang barusan ia lihat. Ia mencoba memastikan bahwa ia tidak salah.
Kayt mengedipkan kelopak matanya untuk pertama kali. Cahaya lampu menyilaukan. Dan ia melihat seorang laki-laki berkemeja ada di sampingnya. Laki-laki itu sedang mengamati jemarinya yang entah sejak kapan bercincin. Laki-laki itu adalah Maur.
Maur menatap mata Kayt. Kayt sudah sadar! Maur memeluk Kayt. Ia mencium pipi Kayt. Alat bantu pernapasan Kayt beruap. Maur bisa melihat bahwa kekasihnya sedang tersenyum.
“Maafkan aku selama ini, Kayt. Dan terima kasih karena kegilaanmu membuatku ingat semuanya. Dan kau selamat. Bagaimana caranya aku berterima kasih padamu?” Air mata Maur mengalir sampai dagu. Kayt mengusapnya.
“Kalau begitu menikahlah denganku..” jawab Kayt terbata. Suaranya tidak terdengar jelas di balik alat bantu pernapasannya. Tapi Kayt berusaha mengisyaratkan dengan menunjuk Maur, lalu menunjuk dirinya sendiri, dan terakhir merekatkan dua jari telunjuknya di depan wajah Maur.

Cerita lain: Salju Merah
*** THE END ***


Terima kasih sudah berkunjung dan membaca yaaa... pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kritik dan saran yang membangun selalu saya terima dengan senang hati.
Copas? boleh, tapi mohon sertakan link-nya ya.. 
Salam Admin... F.A.S

Comments

Baca postingan populer lainnya

6 Hal Sederhana yang Akibatnya Fatal Kalau Sampai Kita Lupa