Skip to main content

Cerpen : Lentera



Aku dan Pomo duduk di rel kereta api dengan santainya. Menikmati pemandangan senja kota metropolitan. Cahaya orennya menyejukkan hati. Ditambah siluet bangunan pencakar langit yang kokoh jauh di seberang menjadikan sore yang bising jadi menyenangkan. Pomo bilang relnya panas di pantatnya, jadi dia duduk di batuan di pinggir rel. Sedangkan aku, yang meski sudah Pomo peringatkan, tetap saja duduk di rel. Aku jarang mematuhi ucapannya. Baru jika aku kena batunya, aku minta maaf pada bocah itu. Eh, maksudku laki-laki yang sepuluh tahun lebih tua dariku itu. Tak beberapa lama. Pomo mengeluarkan isi kresek yang sejak tadi dibawanya. Aku sih menduganya mencuri baju lagi. Benar saja, setelah dibeberkannya, ada empat potong baju baru seperti biasa. Kami saling berbagi. Meskipun itu curian, ahh.. entahlah. Pomo memang ahli!
            Hampir mendekati maghrib, harusnya kami pulang ke bedeng kami yang tidak seberapa jauh dengan rel kereta. Pomo sudah mengajakku. Tapi aku urung sepakat dengannya. Aku menahannya untuk sementara waktu karena aku ingin curhat padanya tentang pelayan toko di dekat lampu merah. Dia bilang pelayan toko itu sudah punya pacar. Takdir bengkok berarti. Aku tidak berani bertanya lebih jauh. Aku menunduk dan merasa malu. Aku malah akhirnya mengkhayalkan pelayan toko itu jadi pacarku. Dan di waktu itu juga aku terkejut dengan suara klakson kereta.
“Lari, Tong! Lari! Jangan bego lu! Lari tolol!” seru Pomo padaku.
            Aku menoleh. Dari arah barat kulihat sebuah KRL datang mendekat. Seperti ada sebuah magnet yang membuat kakiku melekat dengan rel kereta, aku terpaku. Suara teriakan lamat-lamat terdengar keras dan diikuti erangan lokomotif yang makin membuat otakku pecah. Benar saja. Aku terlalu tolol untuk menyadari. Tubuhku tersambar. Tapi juga aku sempat merasakan dorongan di punggungku. Kaki kananku hancur. Aku jatuh terjerembab. Mati rasanya tubuh ini. Bau darah dimana-mana, mual bukan main. Seseorang memapahku sigap. Lalu semuanya padam. Saat terbangun aku sudah berada di ruangan putih dengan baunya yang khas. Antiseptic dan karbol. Rumah sakit sepertinya. Dan yang pertama terlintas dan membebani pikiranku adalah siapa yang hendak membayar biaya rawat inap gelandangan terbuang sepertiku? Haduhh… bukankah jika tadi aku mati rasanya akan lebih baik? Bisa jadi aku tidak perlu susah payah jalan kesana-kemari sambil menjual suara sember dan fals-ku. Atau aku tidak akan pernah lagi diludahi nenek-nenek yang selalu menghujat performance kami. Haduhh.. Tuhan. Aku ini cuma wayang.
            Beberapa lama aku diam. Ya karena tidak ada orang di ruangan tempatku berbaring. Mau bicara sendiri, aku belum cukup sinting. Mau nyanyi, masa iya setelah kaki kananku amblas disrempet kereta. Tidak etis ah. Entah kenapa aku tidak bersedia menangis. Padahal yang kutahu sinetron-sinetron di TV biasa menampilkan keterkejutan kondisi si tokoh yang baru diamputasi kakinya. Mungkin karena hidupku lebih kejam dari hilangnya salah satu kakiku.
            Seseorang masuk tanpa mengetok pintu. Suster. Cantik. Hmm. “Lho, Mas sudah sadar to? Maaf, kami mengamputasi kaki Mas. Maaf ya, Mas. ” katanya dengan aksen Jawa yang kental. Begitu dia selesai bicara, aku langsung tertawa, “Baru magang ya, Neng?” tanyaku dibuntuti tawa cekikikan. Si suster malah melongo. Dia berhenti menulis di papan tugas yang dipegangnya. Dia masih diam sampai aku kembali bertanya, “Teman saya dimana, Neng? Nggak ada yang jenguk saya nih?”
            “Aa..a.a..anu Mas, temannya Mas ada di kamar sebelah,” jawabnya tersendat.
            “Pomo?!”
            Suster mengangguk.
            “Kenapa dia?!” tanyaku benar-benar penasaran. Aku bangkit dari tidurku, tapi nyeri hebat yang aku rasakan. “Pomo kenapa?!”
            “Tangannya diamputasi Mas… Dia malah belum sadar sampe sekarang.”
            “Aduhh, goblok no bocah! Pake acara nylametin gue lagi!”
            “Mas..Mas.. kok malah digoblokin sih. Dia kan yang nolong Mas.”
            Belum lagi kujawab pertanyaan suster aneh itu, sebuah suara di balik pintu meneriakkan nama ‘Munah’. Apa aku Munah? Bukan, aku Ardi. Munah mungkin nama si suster Jawa ini. Benar saja, kepalanya menengok ke arah pintu. Dia langsung lari dan tanpa babibu meninggalkanku.
            Aku makin kelimpungan. Siapa yang akan membayar biaya rumah sakitnya ya? Lalu bagaimana nasibku dan nasib Pomo setelah anggota tubuh kami tidak berfungsi semestinya lagi. Pertanyaan tentang siapa yang membayar biaya rumah sakit menguing-nguing di sela-sela otakku. Masa iya aku harus menyicil setiap hari pada rumah sakit untuk melunasi biayanya. Aduhh.. bisa sampai seumur hidup kerjaanku cuma mengamen dan menyicil utang, belum makan, belum minum, dan belum beli baju. Suster yang tadi ngobrol denganku masuk lagi. Kali ini dia membawa nampan berisi makanan dan minuman.Wajahnya terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya. Aku yakin ada sesuatu yang ingin dia sampaikan setelah ini. Aku nampaknya paham. Langsung saja kuberondong dia, “Pomo udah sadar, Neng?” Dia menggeleng. “Makan dulu, Mas. Udah waktunya. Habis makan diminum obatnya ya.” Katanya sambil membantuku duduk dan meletakkan nampan itu di samping tubuhku.” Suster itu kemudian pergi dan aku makan dengan lahapnya.
            “Sialan, lupa lagi nanya biaya rumah sakitnya!” omelku kesal. Suaraku hampir memantul karena kerasnya.
            Aku meminum obat yang suster berikan barusan. Ada empat yang harus kuminum sekaligus. Tiba-tiba seorang wanita tua gendut masuk. Usianya kira-kira lima puluh tahunan. Bajunya rapih, bersih, dan bagus. Berkilau dan banyak berhias manic-manik. Wanita itu lebih mirip toko emas berjalan ketimbang seorang ibu. Ia setengah berlari ketika melihatku yang masih terheran dengan kedatangannya.
            “Ibu siapa?” tanyaku penasaran.
            “Mama udah bayar semua biaya rumah sakit kamu dan temanmu, Evan. Kata dokter minggu depan kamu udah boleh pulang…”
“Tunggu! Tunggu! Bu, itu kacamatanya tolong dipake. Saya bukan Ev..Evi. Saya Ardi, Bu. Saya juga nggak punya orang tua…”
“Ini mamamu, Nak. Mama nggak salah. Kamu Evan. Kamu Ardi,” kata wanita itu dengan nada berat layaknya mendung yang menyimpan hujan. Tapi aku malah membalasnya ringan,
“Evan apa Evi, Bu? Evan Sunandri? Itu  mah nama teman saya, Bu. Kalo Evan Dimas saya tau…”
Wanita itu tidak tersenyum apalagi tertawa. Ia malah menangis sejadi-jadinya. Aku makin kebingungan. Sudah nyeri kaki, nyeri otak lagi. Suasana jadi sangat-sangat hening.
“Maafin mama, Evan. Maafin mama yang nggak pernah bisa bahagiakan kamu. Ini mama, Nak. Ibu kamu. Yang melahirkan kamu. Kamu punya orang tua, Nak… berhenti bercanda. Ini mama, Evan.”
Hatiku beku. Terasa lumer setelahnya. Penglihatanku mulai remang terlapisi air yang menggenang di pelupuk mata. Dan..tikk. Airnya pun menetes. Aku masih punya orang tua?? Wanita gendut ini ibuku?? Dengan sangat menyesal aku mengucapkan, “Ibu kemana aja dari dulu? Aku terlunta-lunta di jalanan, Bu. Keujanan dan kepanasan setiap hari. Ditendang dan diludahi. Dimaki dan dikucilkan. Ibu kemana? Dari aku kecil sampe umurku 23 taun, aku cuma punya Pomo, kakakku, sahabatku, dan orang tuaku.”
“Evan, dengerin mama dulu, Nak…” pinta wanita yang mengaku ibuku. Aku membuang wajahku dan menghindari tatapannya. Kulihat di balik kaca pintu, suster cantik menguping dan nampak terisak. Aku kembali menatap wanita tua itu lagi. Aku bersikeras dia bukan ibuku. Tapi dia sama kerasnya. Dia mengguncangku sambil berteriak, “Papamu itu nggak pernah mau mengakui kamu sebagai anaknya. Dia takut seseorang bakal merusak bisnisnya dengan mengganggu putranya, jadi dia maksa mama membuang kamu. Dan mama titipin kamu sama anak yang sekarang kamu panggil Pomo itu. Mama titip sama dia buat selalu menjaga kamu, tanpa sepengetahuan papa. Mama bawakan baju-baju baru buat kamu dan Pomo pakai. Mama juga selalu kasih kamu uang lewat Pomo. Mama tau Pomo selalu belikan kamu makanan. Dia bahkan lebih jujur dan mulia daripada mama. Mama selalu memperhatikan kamu dan dia, Evan. Mama sayang kamu, Nak. Mama selalu menyesal setelah kejadian itu, Evan. Dan sekarang, meskipun papa baru beberapa hari ini pergi, tapi mama senang. Dengan begitu mama bisa bawa kamu kembali ke rumah tanpa takut sama papa. Tapi kamu lebih dulu kena musibah. Maafin mama, Evan… seandainya aja mama datang ke kamu lebih awal.. ini semua nggak akan pernah terjadi. Termasuk Pomo…..” Air mata wanita itu meleleh lebih banyak. Sama halnya aku.
“Pomo….kenapa?”
“Dia sudah tenang, Nak.. Dia yang udah menyelamatkan kamu. Di akhir hidupnya pun dia tetap menjalankan amanahnya…”
Aku hanya diam. Memantung. Lalu tertawa. “Dasar bocah tolol!” Aku kembali tertawa. Perlahan tawaku menyurut dan digantikan isak tangis. Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Tapi nyerinya mengekangku. Pomo! Pomo! Pomo, sahabatku! Pomo!
“Gue nggak bakal bahagia tanpa lo disini, Pom! Sekalipun gue anaknya orang kaya dan bisa idup mewah! Balik Pom, balik! Tunggu gue, Pom…”
Setelah kepergian Pomo aku mulai melihatnya ada di sekelilingku. Bahkan dia ada di mana-mana. Di dedaunan, di pepohonan, di batu. Aku selalu berbicara dengannya. Tertawa juga dengannya. Aku bilang aku melihat Pomo, tapi ibu mengelak. Ia malah menarikku sambil sesekali menangis. Pomo…Pomo… kau bahkan bisa berubah wujud menjadi cair. Kau ada di dasar kolam renang rumahku? Kau mengajakku turun. Dan dengan susah payah aku menceburkan diri untuk ngobrol lagi denganmu. Aku akhirnya benar-benar bertemu kamu Pom

Comments

Baca postingan populer lainnya

6 Hal Sederhana yang Akibatnya Fatal Kalau Sampai Kita Lupa