Skip to main content

Cerpen: Cinta


Lagi-lagi siang hari yang terik menyerang kota Jeddah dengan dahsyatnya. Bukan hal yang aneh. Itu sudah biasa terjadi, apalagi di musim haji seperti ini. Kulit terasa terbakar dan tenggorokan berubah jadi sangat kering jika berlama-lama ada di luar ruangan. Seorang pria bernama Javed dengan sabar menunggu angkutan umum yang biasanya lewat setiap satu jam sekali. Ia rela bergulat dengan panas demi pulang ke rumahnya di desa. Pendidikannya kini telah ia rampungkan. Hari esok adalah bekerja, pikirnya. Sudah berkali-kali ia sapu keringat yang membanjiri dahinya dengan sapu tangan lusuh berwarna biru pemberian sang ayah. Tapi, kenapa angkutan belum juga datang? Ia mulai bosan dengan debu-debu yang beterbangan di depan matanya. Ia tutup wajahnya dengan kitab favoritnya semasa di sekolah. Ia tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukannya dengan uang pas-pasan yang hanya cukup untuk biaya pulangnya. “Tidak akan cukup jika aku membeli sebuah roti,” gumamnya dalam hati.
            Di saat itu pulalah ia lihat tanpa sengaja seorang wanita bercadar yang hendak masuk ke dalam mobil hitam penuh debu di seberang. Ia didampingi oleh seorang pria gendut berjenggot yang ia kira ayah dari si wanita. Wanita itu sempat menatapnya untuk beberapa detik, tapi Javed buru-buru menangkis tatapan itu. Ia menunduk dan baru melihat ke arah wanita itu ketika mobilnya sudah jalan. Ia mengekori kepergian wanita itu seakan ia masih dapat melihatnya di dalam mobil. Tatapan wanita itu membuat hatinya bergetar. Nampak olehnya mata coklat dengan bulu mata lentik yang menjuntai dengan anggun. Hanya tatapan itu yang ada dalam pikirannya, pandangan pertama sebelum berkedip.
            Klakson bus mengagetkan Javed yang sempat tenggelam dalam lamunan. Bapak tua menyuruhnya cepat masuk karena sebentar lagi akan ada badai katanya. Javed dengan cepat menggiring tubuh jangkungnya ke dalam mobil. Dalam mobil pun yang ia pikirkan hanya seputar wanita itu. Beragam pertanyaan meledak jadi beribu-ribu keping di otaknya. Ia tiba-tiba ingin mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang telah menatapnya itu. Ia benar-benar tidak pernah merasakan yang demikian selama bertahun-tahun tinggal di Jeddah. Cinta, pikirnya. Aku telah jatuh cinta.
            Beberapa hari setelah kejadian itu, Javed jadi sulit untuk tidur di malam hari. Bintang gemintang seolah bernyanyi untuknya dengan syair maha cantik untuk wanita yang belum dikenalnya itu.
Oh, siapa gerangan dirimu?
Bintang bernyanyi untuk mata indahmu
Oh, siapa gerangan dirimu?
Bolehkah aku mengikuti kepergianmu?
Meski hanya sekejap
            Kesadarannya sudah jauh dari Javed yang dulu. Ia telah menunda pekerjaannya untuk berpikir tentang wanita itu. Cinta telah membelokkannya mundur. Ia sadar itu dan buru-buru merubahnya lagi. Ia kembali pada fitrahnya. Sempat beberapa waktu kerlingan mata itu tidak muncul dan membayangi otaknya. Ia sempat larut dalam tugasnya.
            Tapi di suatu sore yang mendung, Jeddah terasa teduh. Dan di hari itu pula bosnya menugaskan ia untuk menuju sebuah toko di Jeddah. Javed tahu betul toko itu. Letaknya hanya terpisah beberapa toko dari tempat wanita itu pernah menatapnya. Bagaimana tidak ia ingat, sedangkan selama tiga tahun sekolahnya ia selalu menunggu di halte itu untuk menunggu angkutan umum ke desanya. Kepingan puzzle telah menyatu kembali ketika untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu keluar dari toko yang dulu. Pakaiannya hitam menyibak keanggunannya di tengah sore yang tidak biasanya dihias awan. Wanita itu kini tidak melihatnya. Di belakang wanita itu masih tetap ada seorang pria gendut berjenggot yang hampir tidak Javed ingat kalau saja wanita itu tidak menggendong seorang anak laki-laki yang memanggil pria itu dengan sebutan ‘abi’ dan ‘ummi’ pada wanita pujaannya.
            “Kalau saja aku bisa meminta untuk lahir lebih dulu daripada dirimu, wahai Muslimah, pasti aku akan meminangmu lebih dulu daripada pria itu,” ucapnya berat.
       Semua makhluk tahu siapa yang ada dalam hatinya. Siapa pula yang setiap hari ada membayanginya. Sayangnya manusia tidak mengerti apa yang ia rasakan. Javed tidak pernah menampakkan bahwa cinta telah tertambat di hatinya. Telah mahir ia dalam bersembunyi. Termasuk cinta, pedih, dan perih. Berulang kali ia berusaha untuk melepas bayangan wanita itu tapi malang tak dapat ditolaknya. Ia selalu tidak bisa. Malah semakin sulit saja. Belakangan hampir setiap hari ia mendapati wanita itu ada di depan matanya. Ia sudah paham betul perihal siapa wanita itu sebenarnya. Ia sakit, tapi tidak melawan perasaannya. Dan ia gembira dengan air matanya.
            “Kalau saja aku bisa meminta untuk lahir lebih dulu daripada dirimu, wahai Muslimah, pasti air mataku tidak akan mengalir segembira ini. Cintaku tidak akan menghasilkan buih untuk pandangan-pandangan haram ini.
            Jadi, siapa sebenarnya dirimu? Kenapa Allah memberiku cinta untuk kuhembuskan padamu?
          Wahai hati yang terurai muslimah di dalamnya, biarkan aku melepas penatku pada perasaan bimbang ini. Biarkan saja wanita itu berbahagia dengan cintanya. Aku hanya seorang bocah. Cinta bocah pada ibunya, bisa jadi.”
Maka di hari itu pula dilepas cintanya yang menambat sudah tiga tahun di hatinya. Dan meski setiap hari dijumpainya wanita itu sambil menggendong si kecil yang mulai tumbuh dewasa, ia tetap tenang. Ikhlas. Sesekali dilontarkannya senyum pada si pria gendut yang terkadang juga ikut menatapnya. END.
14-12-15

Comments

Baca postingan populer lainnya

6 Hal Sederhana yang Akibatnya Fatal Kalau Sampai Kita Lupa