Lagi-lagi siang hari yang terik
menyerang kota Jeddah dengan dahsyatnya. Bukan hal yang aneh. Itu sudah biasa
terjadi, apalagi di musim haji seperti ini. Kulit terasa terbakar dan
tenggorokan berubah jadi sangat kering jika berlama-lama ada di luar ruangan.
Seorang pria bernama Javed dengan sabar menunggu angkutan umum yang biasanya
lewat setiap satu jam sekali. Ia rela bergulat dengan panas demi pulang ke
rumahnya di desa. Pendidikannya kini telah ia rampungkan. Hari esok adalah
bekerja, pikirnya. Sudah berkali-kali ia sapu keringat yang membanjiri dahinya
dengan sapu tangan lusuh berwarna biru pemberian sang ayah. Tapi, kenapa
angkutan belum juga datang? Ia mulai bosan dengan debu-debu yang beterbangan di
depan matanya. Ia tutup wajahnya dengan kitab favoritnya semasa di sekolah. Ia
tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukannya dengan uang pas-pasan yang hanya
cukup untuk biaya pulangnya. “Tidak akan cukup jika aku membeli sebuah roti,”
gumamnya dalam hati.
Di saat itu
pulalah ia lihat tanpa sengaja seorang wanita bercadar yang hendak masuk ke
dalam mobil hitam penuh debu di seberang. Ia didampingi oleh seorang pria
gendut berjenggot yang ia kira ayah dari si wanita. Wanita itu sempat
menatapnya untuk beberapa detik, tapi Javed buru-buru menangkis tatapan itu. Ia
menunduk dan baru melihat ke arah wanita itu ketika mobilnya sudah jalan. Ia
mengekori kepergian wanita itu seakan ia masih dapat melihatnya di dalam mobil.
Tatapan wanita itu membuat hatinya bergetar. Nampak olehnya mata coklat dengan
bulu mata lentik yang menjuntai dengan anggun. Hanya tatapan itu yang ada dalam
pikirannya, pandangan pertama sebelum berkedip.
Klakson bus
mengagetkan Javed yang sempat tenggelam dalam lamunan. Bapak tua menyuruhnya
cepat masuk karena sebentar lagi akan ada badai katanya. Javed dengan cepat
menggiring tubuh jangkungnya ke dalam mobil. Dalam mobil pun yang ia pikirkan
hanya seputar wanita itu. Beragam pertanyaan meledak jadi beribu-ribu keping di
otaknya. Ia tiba-tiba ingin mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang telah
menatapnya itu. Ia benar-benar tidak pernah merasakan yang demikian selama
bertahun-tahun tinggal di Jeddah. Cinta, pikirnya. Aku telah jatuh cinta.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, Javed jadi sulit untuk tidur di malam hari. Bintang
gemintang seolah bernyanyi untuknya dengan syair maha cantik untuk wanita yang
belum dikenalnya itu.
Oh, siapa gerangan dirimu?
Bintang bernyanyi untuk mata indahmu
Oh, siapa gerangan dirimu?
Bolehkah aku mengikuti kepergianmu?
Meski hanya sekejap
Kesadarannya
sudah jauh dari Javed yang dulu. Ia telah menunda pekerjaannya untuk berpikir
tentang wanita itu. Cinta telah membelokkannya mundur. Ia sadar itu dan
buru-buru merubahnya lagi. Ia kembali pada fitrahnya. Sempat beberapa waktu kerlingan
mata itu tidak muncul dan membayangi otaknya. Ia sempat larut dalam tugasnya.
Tapi di
suatu sore yang mendung, Jeddah terasa teduh. Dan di hari itu pula bosnya
menugaskan ia untuk menuju sebuah toko di Jeddah. Javed tahu betul toko itu.
Letaknya hanya terpisah beberapa toko dari tempat wanita itu pernah menatapnya.
Bagaimana tidak ia ingat, sedangkan selama tiga tahun sekolahnya ia selalu
menunggu di halte itu untuk menunggu angkutan umum ke desanya. Kepingan puzzle
telah menyatu kembali ketika untuk kedua kalinya ia melihat wanita itu keluar
dari toko yang dulu. Pakaiannya hitam menyibak keanggunannya di tengah sore
yang tidak biasanya dihias awan. Wanita itu kini tidak melihatnya. Di belakang
wanita itu masih tetap ada seorang pria gendut berjenggot yang hampir tidak
Javed ingat kalau saja wanita itu tidak menggendong seorang anak laki-laki yang
memanggil pria itu dengan sebutan ‘abi’ dan ‘ummi’ pada wanita pujaannya.
“Kalau saja
aku bisa meminta untuk lahir lebih dulu daripada dirimu, wahai Muslimah, pasti
aku akan meminangmu lebih dulu daripada pria itu,” ucapnya berat.
Semua
makhluk tahu siapa yang ada dalam hatinya. Siapa pula yang setiap hari ada
membayanginya. Sayangnya manusia tidak mengerti apa yang ia rasakan. Javed
tidak pernah menampakkan bahwa cinta telah tertambat di hatinya. Telah mahir ia
dalam bersembunyi. Termasuk cinta, pedih, dan perih. Berulang kali ia berusaha
untuk melepas bayangan wanita itu tapi malang tak dapat ditolaknya. Ia selalu
tidak bisa. Malah semakin sulit saja. Belakangan hampir setiap hari ia
mendapati wanita itu ada di depan matanya. Ia sudah paham betul perihal siapa
wanita itu sebenarnya. Ia sakit, tapi tidak melawan perasaannya. Dan ia gembira
dengan air matanya.
“Kalau saja
aku bisa meminta untuk lahir lebih dulu daripada dirimu, wahai Muslimah, pasti
air mataku tidak akan mengalir segembira ini. Cintaku tidak akan menghasilkan
buih untuk pandangan-pandangan haram ini.
Jadi, siapa
sebenarnya dirimu? Kenapa Allah memberiku cinta untuk kuhembuskan padamu?
Wahai hati
yang terurai muslimah di dalamnya, biarkan aku melepas penatku pada perasaan
bimbang ini. Biarkan saja wanita itu berbahagia dengan cintanya. Aku hanya
seorang bocah. Cinta bocah pada ibunya, bisa jadi.”
Maka di hari itu pula dilepas
cintanya yang menambat sudah tiga tahun di hatinya. Dan meski setiap hari
dijumpainya wanita itu sambil menggendong si kecil yang mulai tumbuh dewasa, ia
tetap tenang. Ikhlas. Sesekali dilontarkannya senyum pada si pria gendut yang
terkadang juga ikut menatapnya. END.
14-12-15
Comments
Post a Comment
Komentarlah dengan sopan. Tidak mengandung SARA. Komentar yang berisi link aktif akan dihapus dan dianggap sebagai spam